Tuesday 8 January 2013

Aroma Kopi Arabika*(ACK)

Aku mencium aroma kopi Arabika dan meminum
sekarang tiap bibir pribumi boleh mengecapnya
kopi dari dunia baru idaman di zaman penjajah
pribumi terpulas di buminya sendiri jadi buruh
paksa. Kemiskinan seperti wabak menular di-
lembah-lembah terpuruk dan desa-desa sepi.
tiada hukum membela rakyat kecil, malam yang
gundah. Kelaparan menebok sampai ke sukma.
Penindasan di kebun kopi, entah sampai bila
akan berakhir. Kesabaran itu mulai menipis.
Rakyat kecil gelisah memandangmu, mereka
tersiksa dalam hidup. Mereka adalah tengkorak
dan berjalan terhuyung-hayang di buminya sendiri.
Belanda punya hajat dan impian yang lain,
bupati punya hajat dan impian yang lain
rakyat kecil seperti bangsa yang kalah, hanya
meminta keadilan. Saija dan Adinda, sepasang
kekasih yang punya impian. Tapi impiannya
terheret dalam lumpur. Saija, kau pemuda
pribumi, darahmu bergelodak. Keadilan sirna.
Kau terjerat dalam sistem yang menghukummu
dan memulaukan hakmu. Kau bersuara, tapi
suaramu kandas. Kau dibunuh dan Kubangmu,
kerbau, lambang kewiraanmu dirampas. Kubang,
kau temanku, Kubang tak pernah takut sekalipun
harimau dengan gigi dan cakarnya cuba mencerkam
Kubang, tak akan mudah mengalah. Tanduk Kubang
menikam perut harimau. Saija bangga. Saija dapat
mengatakan kepada penduduk desa kehebatan Kubang.
Tapi, kegembiraan Saija tak panjang. Turun malam
gelap. Kejahatan yang mengepung Saija. Mereka
merampok Kubang, kerbau kesayangan Saija untuk
pesta keramaian Bupati. Saija, pemuda pribumi
bangkit  merebut haknya yang dirampas di siang
hari. Saija melawan. Pertarungan tak akan kembali.
saija melawan satu, dua, tiga, empat dan kumpulan.
orang tamak. Tiap tikaman ditangkis. Tiap pukulan
dipatahkan. Sukma Saija bagai benteng yang pecah.
Saija melihat Kubang, kerbau kesayangnya diheret-
heret di depan matanya oleh perampok. Saija melawan
dengan segala kekuatan. Tapi mereka datang bagai
gunung berapi yang memuntahkan api belerang.
Saija mulai melemah. Kuda-kuda kaki Saija goyang.
Tapi Saija tetap berdiri tanpa menyerah. Saija
mendongak ke langit. Tikaman datang terus-
menerus. Saija menangkis. Kiri, kanan, belakang
dan depan. Saija  merasa tusukan logam menggena
perutnya. Saija berundur sedikit dan rebah.
Saija masih dapat melihat sekilas Kubang, kerbau
kesayangannya dibawa pergi. Di bumi sendiri,
darah Saija mengalir kering. Mata Saija masih
bercahaya sedikit, melihat Kubang, desa dan
langit lalu cahaya itu menghilang dan degup
jantung Saija mengendur senyap. Orang suruhan
Bupati telah pulang membawa Adinda. Sukma
Adinda jadi hitam. Saija adalah mentari gagah,
impian dan harapan. Meraih esok adalah
perjuangan yang harus mula. Harapan itu harus
diperjuangkan. Saija adalah pemuda pribumi,
kekasih Adinda tak akan menyerah sekalipun
mereka adalah rakyat kecil. Sekalipun rakyat
kecil, keadilan dan hak telah dirampas. Adinda
adalah kepunyaan  Saija. Adinda tak akan
membiarkan rembulan purnama dirampas oleh
pendera dan penjahat. Bupati mempersiapkan
malamnya, mengharumkan ranjang tidurnya.
Dari dulu kemahuan Bupati mesti dilunasi.
Tak akan boleh dibantah. Adinda sekarang
adalah sajian buat Bupati, perawan desa. Nafsu
Bupati seperti letusan lahar panas gunung
berapi yang siap. Esok, Kubang, kerbau itu
akan tumbang dan jadi sajian untuk pesta.
Hawa malam panas, Bupati menerkam
mangsanya tanpa ampun. Otot-otot Bupati
kejang. Malam ini, malam Bupati tapi
malam celaka buat Adinda. Adinda menyebut
Saija, laungannya meninggi. Memanggil
Saija, pembela, pelindung dan kekasihnya.
Malam raksasa ini tanpa ada belas ampun.
Adinda tegar hati. Tidak akan mengalah.
Ketawa Bupati makin hebat. Bupati merasa
alam ini di bawah kekuasaan Bupati. Tidak
ada yang dapat memberhentikan Bupati.
Genggaman Bupati bagai terkaman serigala
yang merobek-robek mangsanya dengan
giginya. Adinda berkeras. Tapi daya pertahanan
nya makin lemah. Bupati telah maju terus.
Maju ke garis larangan. Sekarang Bupati
tidak akan berhenti separuh jalan. Bupati
melompat masuk ke dalam garis larangan.
Lari jantung Bupati kencang. Sekarang
Bupati menakluki alam sejagat. Bupati
ketawa puas. Adinda bagai tubuh tak bernyawa.
Senyap. Bau kopi Arabika dan rasanya pahit,
aku ketagih. Tuan Multatuli, jiwamu pada orang
kecil, rakyat kecil. Kau, membuat undang-
undang supaya rakyat kecil boleh mengambil
haknya. Kau telah mencipta Saija dan Adinda.
Mereka adalah sepasang kekasih yang jadi
korban. Tuan Multatuli, inginkan keadilan
pada orang kecil, rakyat kecil harus dibela.
Saija dan Adinda, kau dalam sukma. Ketika aku
terkenang Saija dan Adinda, aku  pun
terkenangkanmu Tuan Multatuli. Max
Havelaar dan Bupati. Ya, bukan pegangan
yang terbaik, membalas kejahatan dengan
kejahatan atau membalas kekerasan dengan
kekerasan. Hidup Saija dan Adinda. Kamu
adalah orang kecil dan rakyat kecil  tak akan
bisa dilupakan. Aku meneguk sisa kopi,
menyapu kedua mata dan berlalu.

Kota Kinabalu
9 Januari, 2013
* antologi "Secangkir Kopi" 2013, penyenggelara Salman Yoga S.





No comments:

Post a Comment