Wednesday 24 April 2013

Menunggu Kau Tiba* (Cinta)

Kalau aku diam
dan tak bertanya lagi
membiarkan
suaramu bersembunyi
di dalam lipatan.

Kau sebenarnya
diam dan berdalih
mengosongkan pentas
dan duduk sendiri
dengan spot light
pada wajahmu.

Menunggu tanpa tahu
akhir dari sebuah cerita
hanya mencipta
jerebu di siang hari.

Bulan bintang
di langit malam
masih indah terucap.

Tapi kau masih  diam
seperti dalam gua,
mempelajarimu mesti
dalam diam.

Kota Kinabalu
25 April 2013


Pengawal Api*(UB)

Ada lautan memisahkan kita
ada musim menjarakkan
mimpi semalam dan impian hari ini
bergulung diterbangkan angin
menempel di langitmu.

Aku melihatmu ketika kau mulai
mengenal api lalu cuba menyalakan
api lilin. Begitu hati-hati. Kekadang
perasaanmu bergolak. Meniupnya padam.
Lalu kau mulai lagi..

Ketika api lilin menyala
kau puas. Lalu memadam dengan
hembusan nafasmu. Lilin padam.

Sekarang kau tak semudah itu
menyerah, ketika angin terkawal
hutan terselamat. Begitu cepat
segala akan berubah.

Bangkit, jangan menyerah
lagumu, lagu hidup, sampai ke garis
penamat. Dinginkan langitmu.
Biarkan harapan tumbuh dalam sukmamu.
Kau pengawal api yang baik.

Kota Kinabalu
25 April 2013

*Tersiar  Di Utusan Borneo 19 Mei 2013



Tuesday 23 April 2013

Kamu Penumpang Terakhir*(AKL)

Katamu, 'Tak ada kapal lagi selepas ini.
Kamu penumpang terakhir.'

Lautan membaca langit kalau ada perubahan sedikit
langit pula bagai terpaku melihat nahkoda memberi
isyarat, kapal berundur merenggangkan diri dari pelabuhan.
Penumpang melambaikan tangan. Tapi ini bukan bathera Nuh.

Ia berdiri memandang kapal menjauh. Dan hilang.
Sendiri.

Menjelang setahun. Rambut dan janggutnya memanjang.
Purnama tetap berkunjung. Tapi di pulau ini,
ia tak melihat petani, buruh, nelayan apa lagi teksi dan bus.
Sekarang ia boleh tidur semaunya, tidak seperti malam pertama
sendirian di sebuah pulau terasing di tengah lautan.

Ia tak pernah mengelak dari ketemu dirinya, menempel
di mana-mana, di pokok kelapa, di atas bukit atau pantai
pasir putih. Ia di mana-mana, cuma sukmanya satu.
Keuntungannya sendiri, ia dapat berdoa, tenang.

Kata-katanya menjadi puisi mengalir dari sukmanya,
tak ingin berhenti. Mengalir terus. Dan ia tak membendung
puisi-puisi sukmanya.

Ia merasa langit dan bumi yang dipijaknya tanpa sempadan.
Ia tak ambil pusing tentang dunia. Kebutuhannya tak pernah
tak ada. Ketika ia haus begitu mencekik lehernya, langit
menurunkan hujan. Ketika kelaparannya tak tertolong,
laut memberikan rezeki, hutan di bukit menggugurkan
buah-buah yang manis.

Ia tak pernah merasakan ini adalah suatu yang anih.
Kerana yang mustahil akan menjadi kebenaran dan
kenyataan.Ia tak pernah kesunyian. Nahkoda meninggalkannya
sebagai hukuman. Memutuskan hubungannya dengan luar
disangkakan akan mengendur perjuangannya.

Di pulau ini ia menulis puisi-puisinya kepada Tuhan.
inspirasinya tak pernah tohor, tiap kata turun bagai
air yang mengalir terus dan tak berhenti. Terus-
menerus, sampai ia terlena. Ketika esok ia bangun
ia akan terus menulis lagi kepada Tuhan tak berhenti.
Dan ia tak pernah bosan apa lagi letih. Dan Tuhan memberi
kekuatan pada kata-katanya, bila terhimpun menjadi
kekuatan tak dapat dikalahkan.

Tahun bertahun ia pernah duduk menunggu kapal yang
tersasar dan menemukannya di sini. Tapi itu telah
berlalu. Ia tak pernah menunggu lagi.

Suatu hari di horizon ia melihat kepul-kepul asap
bergerak perlahan ke arah pulaunya. Ia tak berganjak.
Melihat kapal itu makin mendekat, entah dari mana
asalnya. Apakah kapal ini pernah hadir dalam mimpinya
atau kapal Pendatang Asing ke sasar di lautan mencari benua baru?

Kota Kinabalu
23 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)


Air surut*(ITBM)

Air telah jauh surut ke laut.

Taukah kau
di celah-celah batu
di dalam lubang
di pasir putih
rumpaian
air laut
ada ketenangan pada
sepasang kaki.

Dalam waktu begini
langkah orang lebih cepat
dari biasa
sampai ke tempat dituju
dan berhenti seketika
kekadang menemukan
yang dicari
kemudian berlalu.

Orang kecil
turun ke laut tohor
kerana di sana
ia melangkah
perlahan dan hati-hati.

Kota Kinabalu
23 April 2013

*ITBM Jun 2015



Monday 22 April 2013

Pintu Restoran 24 Jam


Pintu restoran ini terbuka 24 jam
tak pernah ditutup dan tak pernah tidur.

Tiap hari dari sepasang kaki
sampai ratusan kaki masuk
lewat pintu restoran.

Tiap pasangan kaki membawa ceritanya
sendiri.
kaki bertumit tinggi
tanpa kasut
berselipar
kasut sport
kaki peniaga
kaki orang politik
kaki orang kecil
kaki orang lapar
kaki pembohong
kaki bayang-bayang
kaki rasuah
kaki orang sakit.

Ada yang berhenti di depan  pintu
melihat ke dalam lalu patah balik.

Di  penjuru dua meja  penuh
sekumpulan orang baru balik
dari berkempen politik.

Di meja lain ada pula
sekumpulan orang lain
baru balik dari memasang
bendera di jalan-jalan di kotaraya.

Yang di ruang tengah, beberapa mahasiswa
makan dengan bujet
sederhana, mengunyah dengan hati-hati.

Pintu restoran ini dibuka lebar
sepanjang hari berpasang kaki
keluar masuk sesuka hati.

Ada yang makan dengan doa
ada yang makan terus makan
tapi ada, mencuci tangan dulu
ada makannya tertib dan perlahan
ada makan terlalu cepat seperti mengejar waktu.

Pintu restoran ini terbuka
pada semua orang
dari bajunya berseterika
yang kulitnya tak pernah disentuh lama oleh matahari
sampai gelandangan di kaki lima yang kotor.
dari mereka yang bercinta dan bermanja
kepada janda muda
dan buruh di jalanan
dan kumpulan berbaju jubah putih
baru pulang dari perjalanan sebulan.

Pintu restoran ini terbuka
kepada semua orang
yang buncit perut dan kurus seperti bambu
yang berselera dan makan sedikit
turis, orang berwang, taukeh dan PTI.
Ya, kami menyediakan
mengikut selera masing-masing.

'Masuk, makan bang?'
Kebetulan yang singgah
sepasang kaki
selalu di pelabuhan Barter Trade
tangannya masih tersapu minyak makan
sambil merokok Champion melihat ke dalam.

Pintu restoran ini menerima
orang baru pulang jogging
sampai pelanggan terakhir kutu malam.

Siapa saja masuk, dan
tuan restoran tak pernah melihat
kaki-kakimu,  jelas ada
yang berbulu lebat dan dicukur halus.
Yang berseluar pendek dan bertudung labuh.

Pintu restoran 24 jam,
tempat persinggahan
bus berhenti
dan restoran kesukaan nenek tua
ketika pulang kampung
di atasnya ada loteng tempat bermalam.

Kota Kinabalu
23 April 2013





Sunday 21 April 2013

Bendera Dan Warna*(AKL)

Dari masa silam bendera dan warna
kau orang kecil tanpa bendera dan warna
kalau ditanya terus, ya, warnamu
adalah warna alam dan benderanya terpacak
di dalam sukma.

Ketika di medan perang semua tewas
kau soldadu terakhir memegang bendera
jelas kau dan musuhmu berbeda warna.

Di sekolah rendah acara sukan tahunan
kau adalah dalam kumpulan gajah
dan benderanya warna biru.

Kau mulai mencintai lambangmu
dan warna biru keramat
lambang dan warnamu harus
tegak dan ditiup angin. Asalkan
bendara dan lambangmu tak mengelirukan
sekalipun dilihat dari jauh.

Ketika perang saudara meletus
membedakan kedua tentera adalah
warna, yang kuning dan merah
di pihak lawan.

Saat orang kecil dipimpin untuk
menggulingkan sebuah rejim,
memakai warna kuning. Dan
Ada memilih oren dan hijau.

Kau melihat malam, di situ
ada rahsia dan pada warna siang
terhimpun inspirasi.

Di kotaraya dan jalan ke pedalaman
di bawah langit biru dan angin  dari
lautan telah tiba.
Bendera pun berkibar.
Sebatang bambu
kau pun biasa melihat
ini bukan promosi jualan murah
atau iklan melancung dan pakej
pulang balik ke luar negeri.

Di saat begini kau saja tak ada
bendera dan lambang. Kerana kau,
orang kecil, tak perlu ada bendera,
cuma baumu memang bau tanah
dan jempul dan pangkahmu
masih membawa makna.

Siapakah yang memanggilmu
di malam sepi?
Suara hatimu atau igaumu
yang masuk ke dalam mimpi.
Jangan sampai tidurmu terbangun
dan gundah. Sekalipun kamu adalah
orang kecil, ikutlah suara hatimu.
Kerana orang kecil, alam adalah warnanya
dan benderanya di dalam sukma.
Rahsia itu hanya kau dan Dia.

Kota Kinabalu
21 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)







Wednesday 17 April 2013

Nenek tua pulang*(AKL)

Nenek telah lama bersamamu
biarkan nenek pulang kampung
hari ini bukan besok atau lain hari
awal selepas subuh nenek telah siap.


Kepulangannya tidak pernah tertunda
bila panggilan itu sampai dan waktunya
tak dapat dibiarkan berlalu. Nenek tak
akan berhenti mengomel seharian.


Memang nenek tua rindu pada anak-anak
pada cucu-cucu yang merata negeri
dan kota. Memang nenek sayang semuanya
tapi yang ini tak boleh ditundah-tundah.


Jangan sekali menahan nenek
kemahuannya yang ini tak boleh
dicegah. Kemahuan nenek harus
diikutkan. Kalau tidak, kemarahannya
bagai langit runtuh dan bumi gempa.


Berapa kali anak-anak cuba menahan
hasilnya, mereka semua menyerah kalah.
Diam, tanpa melawan satu katapun. Akhirnya
dengan keadaan terpaksa membawa
nenek ke stesyen bus.


Tentang ini, nenek tak pernah kompromi
kalau nenek nak berangkat besok, nenek
berangkat. Nenek tak perlu nasihat dari
anak-anak, apa lagi cucunya semua.


Semangat mandiri ini sejak muda
ada di dalam sukmanya. Nenek tak
pernah meminta apa lagi menyusahkan
anak-anak. Nenek punya malu dan pendirian.


Bila mengundi tiba fikiran nenek satu
tak ada orang yang mengajarnya
atau memangkah simbol ini, undinya,
undi rahsia dan keputusan ini adalah
keputusan nenek.


Kota Kinabalu
18 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)



Melihatmu Dalam Kasyaf* (Puisi)(Metamorposis)

Aku berdiri. Memandang diam
kemudian melihat diri ini di antara
barisan demi barisan penulis
dan diperkenalkan kepada rakyat kecil.

Ramah-tamah dan senyum
pada wajah. Ramai juga
penulis di negeri ini. Lelaki
dan perempuan. Luar biasa.
Yang benar?

Di tanah penyair ini
di langit penuh catatan
di Aki Nabalu, banjaran
dan hutan rimba, orang-orang
meninggalkan catatan atau
puisi kecil dan pantun.

Ketika di upacara resmi
mereka dijemput. Dan
naik mimbar atau pentas tanpa
malu dan rasa segan.

Aku mengerdip mata
kembali ke dalam diri.
Keramaian orang tadi
hilang dan entah ke mana.
Yang ada orang kecil.

Kota Kinabalu
18 April 2013


Metropolis Dan Penyair* (Puisi)(Metamorposis)


Malam condong ke tengah malam
aku masih di langit malam Lautan China Selatan
kapal terbang meluncur ke alam mimpi
sendiri melawan kantuk, Kuala Lumpur
nafas kotamu semakin terhidu.

Aku tiba
melangkah perlahan, tubuh ini
menyerap hawa panas metropolis KL.
Penumpang
mengakhiri perjalanan di sini
menutup pintu teksi sedikit keras
seperti membuat pacuan terakhir
tanpa menoleh.

Di perhentian bus, jam 2.30 pagi
ada orang masih memesan makan
minum-minum
berbual
menunggu dan tertidur.

Bukan di tanah asing,
tapi di tanah air.
Bahasa sukma telah
mendatangimu
seakan aku lupa pada wajahmu
tapi suara itu bicara bersambung
dari masa silam.

Duduk sendiri
antara penyair dan penulis besar
dalam dewan.
Kalau memang orang kecil
lebih baik diam dan mendengar.

Tiap kata pemidato
ketenangan menyerap sukma penonton
tiap kata bersemangat
disambut dengan tepuk sorak.

Semua orang mau dikenal
acara pun berkenal mesra.
Kau ingin bertentang mata
dan berjabat tangan atau salam terucap.

Sendiri menyemak fikiran
sedang mereka telah pergi
suara orang kecil didengar 

jauh di belakang.
Asalkan dapat berbual akan
mendekatkan jarak.

Kutemui teman penyair
telah banyak berubah
ia punya langit sebagai payung
dan dataran tempat berpijak
hanya ia sekarang seperti
pokok getah tumbang
di tanah tanam semula.

Siang itu ramah-tamah
kota metropolis
mengalih pandangannya
pada tetamu dan acara baru.

Kota Kinabalu
17 April 2013

Tuesday 16 April 2013

Menyair Itu*(ABMMK)

Menyair itu bukan apa-apa
kata-kata yang ditulis lalu terucap
tiap baris sumbernya dari keteduhan
sukma mengalir ke dalam jiwamu.

Ketika gundahmu seperti perahu
yang akan tengggelam, kau melihat
tanah seberang atau sebuah pulau kecil
setidaknya kau berenang singgah dan
berhenti mengatur nafas.

Barangkali kau tak melihat ke dunia
ini kerana kau menganggap ia terlalu
kecil. Aku pun tak berlagak seperti
mentari atau purnama yang menakluki
dan memberikan harapan.

Tapi aku pula bukan singa
pemburu lalu mencengkam
batang leher
mangsanya dan meratakan
ke dasar bumi.

Sentuhan ini tak melukakan
tapi kau terasa kehadiranku
ada di situ. Aku melihatmu
tapi kau mungkin tak melihatku.

Aku tak menghitung perubahan
atau melepaskan kembang api,
perarakan dan durhaka.

Dipilih diksi yang sederhana
tiada ruang kau tak memahami
perlambangan itu tumbuh dan
melahirkan lembah dan gunung
laut dan langit, kejujuran dan
kebenaran yang terjangkau.

Bahasamu telah berhenti dari
merayu dan merayau dan
bermuka-muka dalam kebohongan.
Di pinggir kota atau di desa
pedalaman aku memanggilmu
supaya kau terbiasa mendengar
bahasa puisi. Dan esok kau tak
bertanya lagi.

Kota Kinabalu
17 April 2013

**AP Bebas Melata MELANTUN KASIH, EDITOR, Othman Ramli, Sarjana Media SDN                               BHD, 2013.

Saturday 13 April 2013

Benih*(ITBM)

Ada sebuah taman
semua orang termasuk aku
mau ke sana.

Kalau aku benih di tapak tangan
tanamlah aku di mana  saja
kerana kau pun adalah benih sebelumnya
tumbuh bercambah akhirnya
menghasilkan buah.

Dari berkas benih yang
sama ada kau dan diriku.
Ketika ditabur
tumbuhlah dirimu dan diriku dalam
fitratnya sendiri. Asal baik akan baik
dan yang sebaliknya tumbuh
dalam lingkungannya.

Aku memandang langit
awan datang berulang-ulang
menurunkan hujan dan takarannya.

KLIA
15 April 2013

*ITBM Jun 2015




Kundasang Buat Rem Dambul*(ACDK)

Jarang kau bertamu, sekali
bertamu terasa nikmat.
Kundasang, tanah 'seborong'
tanah rindu di kaki aki Nabalu.

Yang silam bukan bererti
kuno dan kau terima
yang baru bukan pula keselamatan
dan kedamaian.
Kau merindukan
sebuah harapan kini telah larut dalam
pembenturan waktu, lebur kerana
kerakusan meraih untung cepat.

Di tanah rindu ini,
tiap perubahan akan menusuk
bagai mata nibung menekan ke dinding sukmamu.
Kau ingin berteriak, biar suara itu mencapai bumbung
langit. Tapi sayang seperti ayam jantan yang tercekik
di pelantaran di siang hari.

Keringatmu meleleh dari tengkuk seawal ini
Kundasang, kau telah berubah dan
aku mulai tak mengenalmu.
Di sini, masih ada yang gemar membakar hutan.
Lihatlah, 'rogimot’ dan ‘tandaramai’ telah 
tumbuh menjauh ke tanah tinggi.

Kundasang, bagaimana kucuba membendung
arus perubahaan yang dipaksakan itu.
Kau adalah tanah rindu dan leluhur, di 
dalam sukmamu, kau menangis
kerana kejahatan-kejahatan itu. 
Tapi suaramu masih
tak sampai seperti igau di siang hari.
Penderaan di Kundasang di tanah rindu ini adalah
kenyataan yang tragik.

Kota Kinabalu
14 April 2013


*Rogimot-Strawberi liar  dan 'Tandaramai' beri-beri liar.
*AP Coretan Dinding Kita, 14 April 2013

Aku Bukan Don Quixote*(ACDK)

Aku mengenangkan bangsaku seperti aku
melihat wajahku di tepi kolam yang mengalir.
Musim bersilih ganti, aku telah jauh, dan tak
akan kembali. Di sekujur tubuh indah ini
ada berkas dan paruh, aku merelakan. Dalam
kepahitan ada kemanisan bergandingan. Sedang
yang manis, akan kuceritakan kepadamu berulang-
kali kerana telinga yang mendengar selalu ingin
cerita manis belaka seperti mentari dan rembulan
tak pernah menyimpan rahsianya.

Ceritaku adalah cerita orang kecil, langkah ini
pun adalah langkah tak seberapa. Tiap langkah ada
derap ada bunyi dan debu yang bertebaran, tidak
pula terlalu besar. Biar pun sedikit, tiap langkah
yang terus menerus, akhirnya akan meninggalkan
tanah kelahiran jauh di belakang. Dan langit adalah
tunjangan teman di waktu lara dan sendiri.

Ketika dalam mimpi gerun di malam-malam getir.
Langit bertukar jadi tofan dan samudera lautan
bergelora membantai kepulauan sukma. Aku
bertahan sedaya kemampuan mengalahkan raksasa,
naga dan ruh jahat seperti dalam legenda.

Dalam sukma, aku adalah orang kecil.
Perjalanan panjang ini bukan ingin menjadi
wira dan tidak juga aku mendatangkan ruh-ruh
kegelapan itu hadir dalam diri. Aku,
bukan Don Quixote.

Di sini, aku berhenti sebentar, mengibas-ngibas
debu-debu yang hinggap dan selesa di seluruh
badan, baju dan seluar. Pada kasut melekat
lumpur kini telah mengeras.

 Kota Kinabalu
14 April 2013

*Coretan Dinding Kita, 14 April 2013

Orang kecil membaca dinding dan perjalanan sejarah*(ACDK)

Aku orang kecil membaca dinding dan perjalanan sejarah
menikmati keindahan rembulan purnama lalu menafsir
anugerah pemberian-Mu dan menyerapnya ke dalam sukma
aku merasa terpilih. Kau yang mengajar berdoa sampai bila-
bila tak akan berkhianat.

Tiada yang mustahil, janjimu adalah kemerdekaan diri
kemerdekaan ini tak akan direbut darimu dan dicampakkan
ke dalam api. Biar impian hidup di sukmamu kerana
mereka pun ingin melahirkan sejarah, tindis-menindis
dalam gelora 'keakuan'.

Suatu nizam tak akan dilanggar, pemberontakan hanya
mendekatimu lubang api yang membakar segala-galanya.
Mimpi dan impianmu hanggus. Bagaimana aku boleh
percaya keberanianmu dalam amok pendekar adalah
berita keselamatan bangsa. Sedang yang kulihat adalah
berita maut berkurun-kurun.

Jebat telah melakar nasib bangsanya. Luncai telah
menata berfikir dan memakai hikmah. Kau lambang
rasional dan mengerakkan daya fikir dan kemampuan
ketika ancaman datang dan turun sebagai malapertaka.
Tuah dan Tan Sri Lanang telah memperingati bencana itu.

Sedang kalian lantang dan berjanji, aku tidak menunggu
Menunggu hanya membawamu mundur ke belakang.
Aku orang kecil dan samasekali tak mungkin bertukar
menjadi raksasa yang membawa bencana. Suara dan
nafasku adalah semangat hidup dan perjuangan.

Kota Kinabalu
14 April 2013

*Coretan Dinding Kita, 14 April 2013

Dia Adalah Dia (Malaysia)

Tiap malam kau duduk di tepi jendela
memandang jauh ke cakerawala
menunggu hadirnya putera malam turun
dari negeri yang jauh.

Ia datang dengan kuda semberani
setelah mengikat pelana di serambi rumahmu
ia mengucap salam lalu ia merebahkan diri
ke pembaringan. Perjalanannya adalah
perjalanan sukma yang meletihkan.

Kau menatapnya sepanjang malam
kerana wajahnya itu bagaikan rembulan
purnama penuh.

Di waktu subuh yang murni
putera ini bangun
lalu berkata,
'Mengapa kau tak tidur.
Kau sakit?'
Aku merasa kehadiranmu
terlalu pendek, menatapmu
tak pernah puas.
Kalau aku tertidur
aku kehilanganmu.

Lalu putera manis itu
berkata,
'Wahai, isteriku,
kerana dia adalah dia.'

Kota Kinabalu
13 April 2013
 

Tanah Wakaf (Suasana)*

Suatu siang, mentari masih gagah
kami mendatangimu. Sekian lama
aku tak berkunjung. Bagaikan
mimpi, ketika berdiri memandangmu.
Di sini pernah ada sebuah rumah kayu
dan tinggal seorang tua pribumi ke mana-
mana rembulan ikut seperti bayangan.

Ia seorang kekasih yang taat, sampai
kiamat menjemputnya ia pegang
dan tak ingin melepas tali arus. Jembatan
gantung itu, jalan menitih ke sawah padi,
masih di situ.

Rumah kayu itu telah diroboh
pokok buah-buahan telah dikerat
keliling. Pokok kopi, jambu air
dan kelapa rapuh dan menjadi tanah.

Matamu menanggung rahsia semalam,
menyepi di dalam sukma. Kini ia telah
menjadi tanah wakap di pinggir jalan
kampung. Anak-anakmu telah berhenti
melepar debu sesama sendiri.

Kota Kinabalu
13 April 2013



Friday 12 April 2013

Dalam Limbo (Boat People)

Ada suara bagai terkandas di batu karang
kau merontah-rontah ingin melepaskan diri
kau seperti melaung dan berteriak dalam
hampa gas. Suara-suaramu bagai musim luruh
daun-daun kering di atas jalanan diterbangkan
angin.Tapi di sini tak ada musim, yang ada sepi.
Tak ada yang menyahut suaramu. Kau berteriak
dan mengerang kesakitan tanpa ada yang
ingin menghulur tangan padamu. Memangnya
kau di dalam limbo.

Suaramu tak ada teg nama. Kau di dalam
kegelapan yang nyata. Di sini kau tak mengenal
waktu. Siang dan malam, hari ini dan esok
telah terputus dari penghidupanmu. Kalau kau
ingin menyanyi, menyanyilah buat dirimu
sendiri. Esok, kau menyanyi dan lusa, hingga
kau pun menjadi bosan dan kau berhenti
menyanyi. Kau boleh gila dan perasaanmu
bagai cermin yang jatuh terhempas, dan kaca-
kacanya melukai kakimu. Kau memanggil,
tapi tiada siapa yang akan datang.

Ketika kau kehilangan suaramu, semangatmu
masih merontah-rontah, tapi setiap kali kau
berbuat begitu, kau terasa dibawa arus jauh
ke tengah samudera. Kau takut, cemas, marah,
sedih, dan ketawa dalam tangis. Kau pun tak
tau sudah berapa lama kau berada di dalam
limbo. Tapi ketika semangatmu melemah,
kau mulai berfikir tentang yang tidak rasional.
Kalau limbo ini sebuah lorong, kau ingin
lorong ini membawamu sampai lorong terakhir
dan melihat langit biru. Tapi ia bukan sebuah
lorong dan bukan sebuah rumah, kalau tanpa
jendela dan melihat datangnya siang benderang
dan mentari pagi dan senja. Atau berada di
beranda melihat ke langit malam dan bintang-
bintang dan komet terbakar hanggus. Di sini
tak ada perjanjian, aku akan keluar dari limbo
menjadi manusia merdeka.

Ketika semangat hidup menjadi punah. Dan kau
merasa kemerdekaanmu telah tercabul dan harga
dirimu debu bertebaran yang tak berharga. Kau
lebih baik mati dari hidup. Sampai begitu
Keimanan tercabar. Kau tak sanggup melepaskan
kehidupanmu sekalipun martabat dirimu telah
terhijak-hijak dan maruah dirimu zero. Tapi,
aku masih ingin mempertahankan kehidupan
ini. Tak akan mengaku kalah.

Sekalipun kau telah merebut segala-galanya
dari diriku. Kau telah menghapuskan bintang-
bintang, rembulan, mentari, dan menconteng
siang dan malam, tapi aku punya impian,
impian ini hidup dalam sukma. Ini tak akan
dapat kau ambil dan cerobohi. Sekalipun aku
dalam limbo, kau tak akan dapat mematahkan
tulang belakangku. Kerana aku bukan sendiri.
Kepintaranmu melakukan sadis dan mendera
diriku di dalam limbo tak akan membuat aku
menyerah kalah.

Kota Kinabalu
12 April 2013

Tuesday 9 April 2013

Menunggu Pengumuman (Malaysia)

Setiap berita ada kejutan
setiap senarai menaruh harapan
namamu akan diumumkan
demikian roda berputar
dan langit mengembangkan layarnya
Siapakah mengharung gelombang?
Tiap detik degup jantungmu
seperti kuda yang dipecut
berlari kencang ke garis penamat.

Berita itu akan sampai
tapi ini bukan keputusan
peperiksaan SPM atau STPM
semua tenaga dikerahkan
lalu dunia seakan berhenti
hening dan diam
kemudian suara pecah gemuruh
kejayaan telah diraih
tahniah dan doa kesyukuran
melucut dari wajah-wajah manis.

Tapi kali ini,
ada penungguan
gempa di dalam sukma
harapan seperti pancutan air
ke langit biru, sekuat harapan
mencapai pusar langit.

Waktu itu semakin dekat
apakah berita itu
datang semanis madu
atau sepahit hempedu
tapi perjuangan tak
akan berhenti di sini.
Ini baru permulaan
perlumbaan belum mula
kemenangan mutlak
adalah impian.

Aku orang kecil 
memandangmu dari jauh
esok kau datang membawa
suaramu  ke mana-mana
dengan muka manis
dan belanja makan.

Kota Kinabalu
10 April 2013




Monday 8 April 2013

Tembok Berdinding Panjang Dekat Jembatan*(AKL)

Ada sebuah tembok dekat jembatan
dan tingginya melintasi kepala
luas dindingnya dan memanjang jauh.
Setiap kereta lalu pasti melihat
tembok berdinding luas sekalipun
tidak sepanjang tembok China
yang terkenal itu ataupun tembok
Berlin.

Tembok itu telah ada di situ,
sebelum aku, sebelum ayah,
sebelum merdeka dan semasa
penjajah. Ini adalah warisan
sejarah dari masa silam.

Hari-hari biasa orang suka berdiri
mengencing dinding tembok. Ya,
itulah kebiasan orang-orang yang
terburu-buru dan ketika hajat dah
sampai.

Seperti jalan-jalan melintas bawah
tanah dari stesyen kereta ke pusat
bandar selalu ada pengesek viola,
atau pemain guitar melayahkan kulit
beg berdiri memainkan musik.

Tapi tembok berdinding luas dan
memanjang ini, di pinggir kota
berjejer oleh pokok-pokok kayu
yang rendang. Di dinding tembok ini
anak-anak muda melukis suara hatinya,
grafiti dengan coretan dan tanda
tangan pelukis dan tempat bermain.
Mereka yang lalu di situ pasti menjerling
atau berhenti sejenak dan menikmati
grafiti pada tembok atau mendengar
musik. Tembok ini tak pernah marah,
ia baik kepada sesiapapun, kau
boleh menconteng, menulis
kata-kata hikmah, bait-bait puisi
kepada kekasih, protes, dan
melepaskan geram kepada dunia
yang meminggirkanmu, atau rintihan
dari kelas yang disingkirkan.

Tembok berdinding luas dan panjang
ini disenangi oleh anak-anak muda
kerana grafiti-grafiti itu, sebahagian
dari hidupnya. Dan tembok ini selalu
saksama dan berlaku adil menyediakan
dindingnya untuk semua orang. Ia
tak membedakan kelas, bangsa dan
ugama, pelukis, penyair, tua muda,
perempuan lelaki, coretan yang
bernada politik, protes, teguran
keras atau tulisan dan lukisan anak kecil.

Beberapa hari ini, wajah tembok
berdinding panjang telah bertukar
wajah. Tiada lagi kelihatan grafiti
anak-anak muda, dan coretan-
coretan dinding. Karya-karya
grafiti di dinding tembok ini
ditempel dengan poster-poster
baru, lebih besar, tindih-menindih
satu sama lain.

Tembok berdinding panjang
dekat jembatan ini masih di-
lalui orang dan kenderaan.
Cuma kau tak melihat yang
patut kau lihat sebelum ini.

Kota Kinabalu
9 April 2013 
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)







Pandit Puisi, Bual Penyair.(Puisi)

Menurut pandit, puisi itu harus begini
harus kaya diksi, usah terlalu mudah
perlambangan dan jauhkan bahasa prosa, 
harus bersandar dengan teori-teori sastera.

Tapi penyair bercanda suara sukmanya
harus sampai kepada pembaca dan
dan pendengar. Tiap kata disulami ruh
pada kata-kata sekalipun sederhana
jadilah karya itu ada ruh dan semangat.

Aku menulis puisi kerana aku penyair
suaraku tanglung-tanglung sukma dan
bintang-bintang impian gemerlapan
di waktu malam. Pada siang suara ini
bergema, membawa khabar suka duka.

Ketika bicaraku tentang langit dan bumi
kau menangkap kulitnya, pengertianmu
terlalu kering tanpa ruh semangat karya
itu sendiri. Kerisauanku, ombak samudera,
di situ juga ada ketenangan. Kedamaian
ini adalah lautan dan langit, kekadang ada
perubahan musim. Sampai bila-bila kau
perlukan aku, sedang aku menulis karya.

Kota Kinabalu
9 April 2013






Perubahan Musim* (ABMMK)

Aku telah berjalan tanpa batas langit dan sempadan
memasuki desa terpencil dan kota di waktu malam.
sedang di sini, orang berbual tak melihat wajahmu
berkejar dan buru-buru pulang. Waktu melayang
tanpa meninggalkan pesan.

Sudah berapa lama gunung itu bertahan di situ,
yang lain telah dikerat-kerat dari bawah ke atas
ketika hujan air lumpur menggeluncur sampai
jauh ke laut.

Hutan jati telah dibakar tanpa kesal, langit jerebu
sukmamu bagai dipukul gelombang dan ribut tofan
ketika redah kau dapat merasakan perubahan musim
dan di pelabuhan ini telah menyusuf nafas baru dan
generasi ini telah siap untuk berangkat.

Aku meminggir membeli laluan kepadamu.
semalam dan hari ini saling terkait dan mendambakan
satu sama lain. Meminggirkan generasi semalam seperti
merobohkan pasak dan tiang.

Kota Kinabalu
9 April 2013
*AP, Bebas Melata MELANTUN KASIH, EDITOR, Othman Ramli, Sarjana Media SDN                               BHD, 2013.

Sunday 7 April 2013

Serai (Malaysia)

Aku memang menyukai bau serai hadir dalam
menu yang kupilih.Seperti sedapnya bau pandan,
serai juga bukan main hebatnya. Rebus ikan
berkuah dengan kunyit. Lidah dan hidung pun
makin biasa mencium serai dan menghirup
lauk rebus.

Ketika aku santai, kau mengejutkan aku dengan
baumu memang seperti bau serai
sekali terhidu, aku mengingatimu, aroma dan
bayangmu. Kegilaanmu telah mendorong Ophelia
terapong lalu tenggelam di dalam sungai. Kemarahan
Leartes terhadapku telah kau pergunakan mengadakan
adegan perlawanan untuk membunuh akhirnya
jatuh korban. Maut berendam di malam kerudung
yang tragik.

Telah lama kau mengintai dan akhir setelah kau
membuka pintu ini, lalu masuk ke ruanganku.
Kau bertanya, apakah aku mengenal suaramu?
Dan kau memakai aksen dari benua selatan.
'Ya.' Jawabku ringkas.

Leartes menghimbuskan nafasnya dan tabir
kebenaran itu terbuka, kejahatan yang berselimut.
Hamlet berdua hati melepaskan kesempatan terbuka.
Sebenarnya segalanya belum terlambat.
Dan aku tak akan membenarkanmu.
Kita selalu mempertanyakan waktu,
waktu sesuai untuk bertindak. Tapi ketika
keputusan telah diambil, kau seakan terpukau
dan berhenti.

Dalam diam kutanami serai di halaman
rumah. Dan menyiramnya tiap hari
kerana kau memang menyenangi air
percakapan kita pun seperti air yang dituang.
Sektsa dirimu, paling tidak disempurnakan.

Kota Kinabalu
8  April 2013









Ikan Bilis Dan Sayur Bening (Malaysia)

Di mana sirih kau tanam semalam bersama pohon pinang?
Tak jauh dari jalan ke gunung, di pinggir desa impian
bukankah tiap bukit dan jalan dan sungaimu mempunyai
cerita dan rahsianya sendiri. Sejak masa silam, pemukim
berganti, ada yang berjaya dan ada yang dipinggirkan.
Hutan yang cedera di tangan penceroboh, masih terus
membabat lukanya.
Selamat datang, kau tamuku?
Istirehat dulu, tentu ada yang ingin kau tanya
kalau tidak kau ingin mendengar tentang mitos dan
lagenda.

Aku masih belum dapat menerka gema atau bisik-bisik
dari pedalaman dan pergunungan. Seorang teman,
berfoto baru, bersongkok, seperti ingin menyatakan
fikirannya. Malammu yang gundah, kata-katamu bertabur
seperti menarik perhatian kepada orang yang lalu-
lalang sambil wajahmu mencari mata ingin berbual.
Siapa yang kau tunggu? Mengapa kau tinggal sendiri?
Ada yang datang sesekali memberi salam dan berlalu
dan ada rutin  kerana kebetulan jalan itu hanya
membawanya ke jalan besar.

Pada udara pagi dan siang yang tiba, mempelajari
kotaku. Riuh dan traffik seperti kelmarin dan sebelumnya.
Kekadang melihatmu seperti ada selaput dan
warna pucat meliputi langit dan tiap lorong dan
bangunan raksasa.
Mari kubawamu melihat-melihat. Biar kau melihat
sendiri. Rasakan. Tak ada yang harus aku sembunyikan.
Segalanya akan bercerita sendiri. Yang tak terungkap
lambat-laun akan hadir menjadi perbualan. Kau akan
tersedut ke dalam kota. Ia bagai bunga Raffleasia,
dalam diam sebenarnya ia bekerja.

Tenang, tenang hatimu, wahai tamu budiman.
Kita selalu mengharapkan yang terbaik. Sekalipun
bunyi dari rumpun bambu di siang hari. Atau
senja yang berlabuh, langit sirkah di tanah asing.
Hujan yang membawa hawa dingin mengimbau
mimpi musafir. Sampai bila pun lebih baik memberi
seperti langit dan mentari dan sungai yang mengalir.
Kau, tak harus bimbang, mama tuaku suka berbual
dan memasak buatmu, nasi, ikan bilis dan sayur bening.
Ketika kau tinggalkan halaman ini,
pulang ke tanah airmu, kami titipkan doa
dari orang kecil.

Kota Kinabalu
8 April 2013

Tanah Segenggam Ini*(AKL)

Aku mengirim rembulan penuh kepadamu
ia terapung dalam udara yang kita hirup bersama
sukmaku menerima firasat, mengangkat duka laramu
ke permukaan, perlahan dan senyap.

Kau berlalu pergi meskipun hajatmu tak sampai
di gelanggang ini seperti dua ekor ayam jantan
bersabung. Lama sudah mereka menerjang di
udara dan kedua tampak keletihan dan mulai
sekali-sekala memagut yang lain. Dan akhirnya
yang satu berlari menjauhkan diri.

Aku cukup memandang gunung dan lautmu
kerana di situ ada kekuatan yang menyerapmu
ke dalam molekul diri. Selangkah sambil menyedut
udara, biar otot-otot ini dan darah di urat serambi
mengalir deras dan segar, sedang aku membaca
puisi di hadapanmu.

Semalam aku mendengarmu menjerit bagai
anjing terluka di malam gelap gelita. Gemanya
sampai ke jauh malam. Aku tidak melihat
bebayangmu, apa lagi gerak-gerak di rimbunan.
Apa itu fikiran dari masa silam yang tercepit
di celah-celah batu ingin melepaskan diri.
Yang pasti aku kepunyaanmu, wahai bumi di sini.

Aku tak lagi bertanya asal usulku kerana aku
bagaikan tanah gembur dan di dalamnya
dari pelbagai jenis tanah. Di sini memang
sudah begitu. Dan ini adalah satu kekuatan
dan kelaianan, tak terdapat di dalam dirimu.
Aku mencintaimu, tanah segenggam ini
dan tanah di bawah telapak kaki.

Kota Kinabalu
7 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)




Friday 5 April 2013

Ketika Suara Orang Kecil Menjadi Korus*(AKL)

Inilah masanya kau mau jadi orang terpilih atau dipilih
sekarang ini, masa yang paling penting
bila dikhabarkan bukan rahsia lagi
di dalam demokrasi, orang kecil juga bisa!

Soalnya sekarang aku mau jadi batang ubi kayu
yang ditanam di tanah gembur di kebun di belakang
desa. Ketika waktunya sampai aku tumbuh
dan cepat berisi. Jadi, makanan orang kecil.
Apakah mereka memilih nasi dihidang
buat makan malam? Bukankah nasi lebih
enak dari ubi rebus?

Kalau begitu, biarlah aku jadi kuda laut
jantan yang pandai bunting sampai melahirkan
anak, penerus generasi masa depan. Pengorbanan
begini adalah teladan buat generasi mendatang.
Tanpa pengorbanan, impian tak akan dapat
dicapai. Jadi, kuda jantan di zaman begini,
pengorbanan tak bererti apa-apa. Fenomena
merah masih merayau di lautmu. Orang masih
mengotorkan laut. Perangainya tak berubah sejak
dulu.

Aku jadi gunung saja. Indah dipandang. Semua
orang mengkagumi pemandangan gunung di waktu
pagi. Kesayangan semua orang. Pelancung akan
datang mengambil foto dan memuji-muji
keindahanmu sampai dalam mimpi. Anak-anakmu
mendabik dada bangga  tentang gunungnya. Memandang
tanpa berbuat apa-apa tak cukup. Apa lagi orang
masih suka menebang dan membakar hutan jati. Lalu
kabus jerebu tebal berlinggar-linggar di gunungmu.
Apa akan jadi pada gunungmu? Kau tak akan boleh
melihat gunung, keindahannya ditimbus kabus jerebu.
Matamu pedih dan bernanah.

Burung-burung di pohon tinggi, kau lebih aman.
Berkicau di waktu pagi, lagumu menghibur
atau nyanyi duka lara yang menekan di pundak.
Tiap hari kau penghibur yang tak pernah bosan.
Ketika orang kecil bermasyghul, kaulah penghiburnya.
Tapi burung-burung telah berhijrah jauh ke hutan jati.
Kerana di sini telah diumumkan daerah perang,
daerah rawan dan daerah merah. Dan orang masih 
turun menggetah burung.

Kalau sudah sampai begitu, biarlah aku memilih 
menulis puisi buat orang kecil. Orang kecil tetap
orang kecil, suaranya kecil tapi ketika menjadi
korus, akan bergema  di dalam gendang telingamu
dan terpelihara di dalam sukma. Selagi hidup 
orang kecil dipinggirkan, selagi itu mereka tak 
akan diam menurut tapi bersuara lantang. Tatkala
suara korus itu menjadi semboyan, langkahnya 
berani dan tak peduli mati.

Kota Kinabalu
5 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)




 






Sukma Orang Kecil*(AKL)

Ayuh pacu kuda semberani, pacu sampai ke pusar bumi
di sana ada langit yang luas terbuka dan warna lembut
dan sejuk di mata. Gazel, menerjanglah ke dalam udara
pergunungan, burung-burung di rimba jati, kau tak kutinggalkan,
melayanglah terbang, siang masih ada, bawa sekali
sukmamu. Kita belum terlambat.

Suaraku tak akan dapat kau kurung dan menutup dalam
botol untuk ribuan tahun. Mungkin kau menakluki wilayah
tapi kau tak akan menakluki sukma ini. Mungkin kau
menganggap, 'ini orang gila yang bicara, orang kecil.'
Tapi kau harus ingat bicara orang kecil ini tak akan
dikalahkan sampai bila-bila. Orang kecil jiwanya
ikan paus, nalurinya dari khutub ke khutub. Jangan!
Kau bermimpi untuk menghapuskan orang kecil.

Sekarang di gelanggang ini permainan bertambah sengit
Tidakkah kau lihat mereka telah menukar siapa yang
masuk gelanggang dan keluar gelanggang. Kau seakan
tak boleh buka bicara, mulut terjahit dan kau terlentang
hanya melihat dengan mata. Masa kecil mama berpesan,
'kuatkan semangatmu.' Jadi, aku tak akan pernah mengaku
kalah dan berhenti dipersimpangan jalan.

Aku masih boleh menyedut udara lembah dan laut,
kuda-kudaku masih gerak seorang pendekar, nadiku
masih nadi kuda dan lincahku masih lincah Gazel.
Ketika mengharung gelombang taufan di lautan
kau masih duduk dalam kegelapan. Ketika aku
melintasi benua bertarung dengan ribut angin sahara
kau baru melihat bintang bergemerlapan dan baru
mencongak-congak.

Aku tidak menyesal lahir bukan dalam generasimu
Tanpa jembatan, generasi sekarang tak akan boleh
melenyapkan sejarah semalam. Mengosongkan
yang lalu hanya akan membohongkan maruah dan
jati diri. Aku datang bukan menghalangmu apalagi
membelenggumu dan menutup matamu dengan
sapu tangan lalu menembakmu. Tidak juga kau.

Di sini, di bumi ini kita keduanya berpijak
di atas kita melihat langit terbentang luas dan
bertingkat-tingkat. Aku tak pernah merayu
supaya kau mengasihani kami. Aku punya
impian seperti kau,  kata-kata dan kalimatku
masih terbang bersayap, sukmanya masih
berakar pada bumi.

Kalau esok aku telah tiada, aku akan meninggalkan
grafiti dan artifak di relung-relung sukmamu. Dan tiap
tanah di bawah telapak kakimu ada aku, pada hutan jati
dan sungai yang mengalir ada aku, pada gunung dan
banjaran ada aku, di laut dan pulau-pulau masih kau
lihat ada aku. Di langit malam dan siang benderang ini
ada aku. Aku ada dalam sukmamu, ribuan tahun dan
sampai kiamat.

Aku tak akan bimbang. Kalau kau cuba menghapuskan
nama dari dinding dan halaman sejarah, sungguh, kau
salah dan silap. Kudaku, kuda semberani, seputih kapas,
Gazelku, adalah sukma, tak berganjak dari kebenaran
pada kata dan tindakan.

Kota Kinabalu
5 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qomaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)







Thursday 4 April 2013

Urutan Mama (Mama)

Aku memang sedar diri
mentari telah condong dari paksi
tulang belulang dan sendi-sendiku
telah longgar dan sakit pun mulai
merata. Kukira aku tak sepantas
seperti kuda semberani, ketika
menaiki tangga denyut jantung
seperti dikejar anjing jiran di
jalan masuk di kedai hujung.
Otot-otot ini menjadi kencang
tapi langkah ini pula semakin
perlahan dan kecil.

Walaupun begitu aku masih
ada semangat burung, tiap hari
aku menerjah ke dalam siang
dan sampai ke  tempat tujuan
tanpa bimbang dan takut.
Pertukaran musim, sempadan
dan lanskap tak sedikitpun
membuat aku jera sendirian
di perantauan. Sendirian
memanggilmu ketika sakit
tak tertahan.

Aku pantang menyerah
ketika kata putus telah dibuat
dengan Bismillah
aku melangkah siap pada
segala kemungkinan
yang tersembunyi atau
yang lahir. Keberanian ini
adalah kerana Tuhan Rahman
selalu disamping dan para
malaikat siap-siaga. Keselamatan
ini adalah kerana aku yakin
hidup mati dalam genggaman-Nya.

Ketika aku berada dekat
padamu. Aku tetap seorang puteramu
seperti anak kecil aku merangkak
ingin bermanja. Aduhai si anak,
tertiarap di atas lantai, berdekur
sedang mama mengurut otot-otot
kakinya yang kencang. Sekalipun
tangannya tak seberapa, aku rindu
pada urutan mama.

Kota Kinabalu
4 April 2013

Suara Orang Kecil*(AKL)

Hujan turun. Siang tinggal sepenggal
Puisi yang kutulis ini
bertukar wajah menjadi gelombang suara
jangkauannya sampai ke khutub utara
melantun ke selatan, timur dan barat.

Yang ada hanya suara, kau boleh menafsirkannya
yang tersimpan di dalam sukma.
Aku tak akan mengubah
apa lagi menambah.

Kalau aku bersyukur
kerana kau masih ingin membacanya.
Suara ini memang suara orang kecil
yang dipinggirkan, demi masa.
Suaranya meletus tapi tak
membunuhmu, hanya membuatmu
gundah.

Gema suara ini tak membuat
gendang telingamu sakit
hanya ketika diulang-ulang
barangkali kau menjadi bosan.

Aku tak pernah mengancammu
apa lagi menikammu dari belakang
ketika kau tak sedar. Bicara ini
adalah panah-panah yang dilepaskan
dari busar ditujukan tepat ke dalam sukmamu.

Bersuaralah puisiku, jangan sampai
kegusaran mereka lalu menjatuhkan
hukuman dan menghitam kambingkan
dirimu.

Suaramu itu adalah suara kasih-sayang 
dan peradaban telah mendiamkan musuh jadi sahabat.

Kota Kinabalu
4 April 2013

*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)









Wednesday 3 April 2013

Langkah Orang Kecil*(AKL)

Sekarang kita bersama, duduk dan berbual
makan dan mengucap salam sebelum berpisah
dekat di sukma dan dekat di jasad. Kita masih
melangkah dengan menghirup nafas semampu
usia. Banyak tahun tahun telah tindih-menindih
satu sama lain. Ada yang terlepas dari kenangan.
Kita mengisi sesama sendiri. Kekadang mengulang
ulang yang silam untuk ditafsirkan. Yang lain
hanya mengalir tanpa sanggahan. Yang disentuh,
dilewati dan terserap telah menjadi sebahagian
dari hidup. Kesalan dan harapan selalu berbaur
dan larut dalam pergolakan hidup. Soalnya,
ketika terharung dan menghadapi tofan samudera
ketahanmu teruji. Berapa lama kau boleh berpegang
pada pasak, tergantung ketahanan pada tiang. Atau
katakan apa saja tempat berpegang dan berlindung.
Aku tak pernah kesal pada tari gelombang dan
ketika terperangkap dalam satu situasi. Sekali
pun aku terpukul atau terjerembab dan terdesak.
Sejarahku adalah sejarah orang kecil, jadi, langitnya
juga kecil dan langkah kakiku pun tak seberapa.
Aku pulang, datang kepadamu, arca-arca
pemikiran yang lahir dari jati diri. Ribut angin
padang pasir telah meredah. Tidak di lautan,
tidak di daratan dan tidak di langit biru,
ada isyarat dan firasat supaya langkah memasuki
senja ketika ditinggalkan menjadi tafsir dan ingatan
pada yang ditinggalkan.

Kota Kinabalu
4 April 2013
*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)





Sabah (Merdeka)

Tanah mimpi penyair menjadi kenyataan
kepadamu anugerah Tuhan bukan kebetulan
banjaranmu menjulang sampai ke pusar langit
di sini pendatang menemukan lubuknya
pulau-pulau seperti rantai mutiara di leher
gadis pribumi. Sungai, teluk laut tercantum
seperti dekur nafasmu ketika tidur lena.
Di dalam rimba jatimu banyak rahsia
menjejakinya bermakna kau akan tertawan.
Di sini, hewan terbaik pernah diciptakan
kau tak akan menemukan di benua mana.
Flora dan fauna tumbuh dari tanah kasih
sayang dalam iklimmu air terjun mengalir
mengalir langsung dari langit samawi.
Di lautmu bulan berendam dan telah beredar
langit perlahan dan sentuhannya halus
pada tiap sukma yang mendambakan.
Di bumi ini, lahir anak-anak peribumi
rahim terpilih dan subur. Burung-burung
mengindahkan langit dan bumimu. Rongga
nafasnya keluar nazam dan gurindam yang
membangkitkan semangat dan tekad berjuang.
Kupanggil kau yang hilang di malam gerhana
pulang dan menyaksikan hutan belantara telah
membuka mulutnya. Burung-burung telah 
berpergian membawa pesan-pesan dan amanat
'kami tak ingin tertinggal, kami akan mencipta
dan menerpa ke depan ikut dalam gelora
samudera sejarah.' Kota di pesisir, belantara
dan pusar bumi ini berbicara dengan alammu.
kami bukan terasing dan tak ingin diasingkan.
Kemerdekaan bukan bayang-bayang sejarah
menghantui masa depan. Tapi daya ketahanan
dan perjuangan melahirkan mitos-mitos dan
legenda-legenda tak hilang dalam peredaran
waktu. Kerana kami selalu mendamba-Mu.
Sekalipun di tanah ini kami dalam keperihan
dan kemelaratan. Hidup kami kerana kasih
sayang-Mu. Di bumi  ini dimulai hidup,
di garis penamat kami akan bersama-MU.

Kota Kinabalu
4 April 2013

*Antologi Kemerdekaan




Gema Suaramu*(AKL)

Damailah sukma, mengapa kau masih berharap
kalau mengharap itu hanya membuatmu lebih
kecil dari biji sawi. Keluar dari lubang pertapaanmu,
sekarang masuk musim memburu.
Kau tak mendengar kata-kata, yang kau
anggap sebagai letusan mercun di malam hari
indah hanya sekilas.

Gema suaramu melantun ke sana ke mari
terakhir ia hinggap di menara tinggi. Di situ,
ia menjadi burung berkepak lebar dan berparuh
tajam. sekarang ia terbang ke langit. Sempadan
tak bertepi, seluas cakerawala. Matanya tajam,
sampai ke masa silam, kembali ke tanah leluhur.

Bumi memanggil sekalipun kau telah
menjauh tapi ia tetap melambai. Sayang,
mereka tak melihat keindahanmu.Usah
ditanyakan mengapa kau menjauh? Mereka
berkata, semua cara dan taktik terbuka
demi meraih kemenangan. Kau tak
akan rindu dalam kesibukanmu mengisi
harianmu.

Kita saling terkait. Yang membedakan kita
hanya protokol dan surat rasmi dan aku
orang kecil tak perlu surat dan protokol.
Sekalipun dibuat protokol, aku masih bisa
membaca matamu sampai ke dalam sukma.

Kota Kinabalu
4 April 2013

*AP 10 Penyair,'Kembang Langit', Qamaruddin Assa'adah, 25 April 2013 (Mei 10)





Aku Ingin Merasakan Apa Yang Kau Tak Rasakan (Mama)

Aku tidak melihat lagi kerbau berkubang
di kampung. Orang seakan beranggapan
memelihara kerbau terkait kepada masa
lampau. Jalan ke kuburan masih semak-
samun, membuat penjalan malam pulang
melajukan kereta ketika lalu di tanah
kuburan.

Jarang-jarang orang kampung turun
menoreh getah. Selain pekerja upahan
berbagi pendapatan. Sungaimu masih
mengalir. Ketika musim banjir, arusnya
melimpah sampai ke anak tangga atas.

Tanah pokok cempedak di pinggir jalan
tanah bukit pokok getah tua telah lama
ditebang. Kampung ini bertukar kulit.
Wajahnya kini wajah orang pekan.
Yang pendatang dan pribumi telah
bermukim sebelahan rumah. Dari
dulu di sini, telah bermukim
pendatang sejak Jepun mundar-mandir
memerdekakan Asia Raya dari
tangan penjajah.

Kalau kau mencariku nanti
kau tak akan ketemu kerana aku berumah
di tanah bukit. Di situ tumbuh lebat lamiding
dan pakis, rebung dan cekuk manis. Aku
ingin merasakan apa yang kau tak rasakan.

Kota Kinabalu
3 April 2013





Rojak Timun (Malaysia)

Suatu pagi aku memanggilmu
kau datang perlahan dan duduk
di sebelah. Hutan bukit di halaman
baru melepaskan wap, masih
seperti mengheret dan perlahan
melepaskan kisah silam semalam.

Aku berbisik seperti melepaskan
sebuah keinginan. Dan mengharapkan
permintaan itu terkabul. Ia tersenyum
dan berlalu.

Sebenar aku tak meminta lebih
dari yang patut. Tapi ketika berdoa
kata-kataku terbiasa meluncur
bertambah dan bertambah dan bertambah
sari kata. Aku tak pernah kesal sekali
pun kepala aku bertahan di atas
sejadah. Kata-kataku terus mengalir.

Anak mata mencari arah ke dapur
seperti dunia senyap seketika
aku sempat berangan-angan
menyentuh langit dan melayang
ke kepulauan jauh dan sepi. Aku
melihat ia datang perlahan dan
hati-hati.

Di atas meja diletakkannya
botol gelas berisi rojak timun.
Air liurku menitis di atas lantai
seperti bayi yang baru merangkak
aku pun mengunyah sepotong
rojak timun dan jauh di dalam
sukma aku merasakan kepulangan
ini memang bermakna. Kerinduan
aku bertahun-tahun telah sempurna.

Kota Kinabalu
3 April 2013










Tuesday 2 April 2013

Menunggu datangnya masa itu, PRU 13.(Merdeka)

Langit mendung sedikit di sini
bagi mereka yang menunggu
terasa penantiannya panjang.

Adakah hari ini dan esok
berbeda?  Tapi yang ditunggu ini
bukan permainan bola sepak dunia.

Pak Dalang telah menukar rentak
dari lagu berjalan ke rentak lagu
perang.

Hari ini, Pak Dogol, kau
boleh berehat, mereka belum mau
ketawa. Kerana mereka tertunggu
datangnya masa itu.

Aku melihatmu, semua
berkot dan memakai tali leher merah
menyampaikan pada tiap
telinga dan sukma

'Parliamen 12
dibubarkan dan berkuat kuasa hari ini.'

Wahai Pak Dalang,
ayuh, main selingan
lagumu
dari sukmamu.
Tiupkan semangatmu
ayuh, palu gong,
keci, serunai dan gendang
jadi orkestra yang
maha hebat.

Hari ini bermula
agar tradisi ini diteruskan
permainan
dan penungguanmu telahpun
digenapkan.

Kepada Tuhan kita berserah.

Kota Kinabalu
3 April 2013






Penceroboh Lahad Datu dan Semporna (Merdeka)

Dalam senyap kau telah masuk menyisip ke dalam
gelombang di malam hari menelur sengketa. Mereka
turun bagai komet, calar-calar di langit impian.
Lumpur di kasut dari kepulauan yang menyimpan
kegelisahan ratusan tahun lekang di pantai pasir
desa Tandou yang khayal dalam mimpi yang tak
akan menetas. Ketibaan telah mengganggu penyu
yang sedang bertelur. Rembulan terkurung. Ombak
laut meminggir, pulang sepantas kilat laut Taganak.

Ketenangan Lahad Datu dan Semporna seperti
tersiram air mendidih di siang benderang. Mereka
datang berslogan perang. Dari mulut dan nafasnya
api gunung belerang. Kata-kata kekerasan tak akan
dapat menakluki sejengkal tanah hijau di lembah dan
pesisir. Langkahmu terseliuh baru turun dari laut ke
daratan. Nafasmu pendek, larimu pun tak seberapa.
Mengapa?  Membiarkan segelincir orang hempas
impianmu.

Ketika kau memasuki ketenangan langit dan bumi
aku tak menyangka kau datang sebagai musuh.
Kedamaian tanah ini telah terganggu buat kali
pertama dalam waktu yang panjang. Langit bertukar
menjadi gelap dan kau melepaskan raksasa ke medan
perang. Gegap gempita, kau mainkan lagu perang,
kegilaaan Rawana tak dapat ditahan. Bagaikan
pintu neraka terbuka. Drama pun mula. Kau tak
ikut peraturan perang, semua jalan halal demi
janji-janji kemenangan yang tak mungkin. Tapi
masih kau bersikeras, mengerah balatenteramu,
mengeruhkan jalan damai dan persaudaraan Ummah.

Kau merosakkan mimpimu dan mempergok impianmu
ke longkang yang berbau. Dan menjolok mentari
dan menconteng wajahmu dengan kegelapan. Sekarang
kau tak dapat melihat rembulan dan udara di tempat
kau berpijak menjadi tipis dan rongga dadamu tersendat.
Tak dapat aku membayangkan kau datang bukan
sebagai tamu, tapi membawa grenade dan senjata.
Mengapa mengorbankan diri pada satu tujuan yang tak
jelas dengan retorika yang basi. Tidakkah kau kesal
dan sedar membunuh dan menganiaya mayat-mayat
lawan adalah  'Crime against Humanity.'

Dengarkan anak bangsa, bumi ini adalah
anugerah dari langit sampai qiyamat. Setiap
generasi akan memperlakukan tanah dan laut
leluhur ini dengan semangat bangsa, menjaga
dan melindunginya dengan semangat pengorbanan
dan jati diri. Keamanan dan ketenangan di tanah
kasih sayang ini adalah lambang sukma yang
tak akan terkalah dengan kekejaman, penganiayaan
dan perang. Kau, anak bangsa hari ini sampaikan salam
kami dari satu generasi ke satu generasi. Bumi pertiwi
ini tak akan kami lepaskan walau sejengkal pun.
Tumbang satu, seratus ribu akan siap siaga
maju ke medan juang.

Kota Kinabalu
3 April 2013








Kerinduan, kekasih Yang Menemukan*(ABMMK)

Ketika kutinggalkan tanah air
kerinduan melahirkan kata-kata
lalu menjadi kalimat terindah
di dalam sukma. Sesekali terlepas
dalam perbualan.

Aku melihatmu dari kejauhan
seperti bercermin diri sendiri.
Ketika aku berada disampingmu
aku tidak melihat warnamu
sebenarnya.

Tiap persinggahan aku
berdiri dan menghirup nafas
mencari bau dalam udara
dan cahaya hinggap pada wajah
mengelus, lembut dan nyaman

Dalam kerinduan itu
ada kenangan, kasih sayang dan
cinta dan memori yang
bertahan dalam ingatan.

Kau tak akan berkata
pada yang tiada
tercatat dalam memori.
Keindahan itu
adalah yang merapatkan
jarak.

Di dalam matamu ada kerinduan
tumbuh dalam diam
berakar di dalam sukma.

Aku di daratan ini
tak akan menyamai tanah
di halaman kerana
di situ kau boleh bermimpi.

Aku tak akan membiarkan
kebencian itu berbaur
dengan kerinduan walau
sedikit.
Kerinduan itu adalah
lautan tenang
di langit malam bergemerlapan.

Kerinduan ini akan terlerai
ketika tanganmu kujabat
dan ketika kau,
kudakap dan mencium
dahimu.

Tatkala aku menelusuri
halaman sejarah
maka kerinduan ini
hidup dan bersemi.

Setiap artifak kenangan
dan kehadiranmu
wujud dalam sukma.

Aku menjalin
cinta dan kasih sayang
tiap getaran inderaku
telah memberi isyarat
kehadiranmu.
Dan aku menjadi pasti
kau hidup dalam diri ini.

Kerinduan itu tanpa sempadan
langit yang berlapis-lapis
dan lautan yang penuh rahsia
nafas malam yang
penuh
isyarat dan kejuitaan.

Kerinduan ini telah aku persiapkan
bertahun-tahun bersemi
dalam sukma dan mengalir
dalam serambut darah ini.
Sekalipun aku jauh
terasa air terjun mencurah
tanpa berhenti
Kau adalah impian yang tak akan
pernah punah
menjadi rembulan
mentari
dan bintang-bintang
yang bergayutan di cakerawala.

Aku tak akan berhenti
kerinduan itu telah menjadi
langit yang tak dapat dibendung
dan aku beruntung kerana
masih boleh merindukanmu.
Kerinduan ini tak tertakluk
kepada masa. 

Yang terdahulu telah berusaha
mengenapkan kerinduan mereka.
Yang tinggal dan generasi penerus
juga akan menggenapkan kerinduannya.

Kemerdekaan itu
adalah kerinduan pada sebuah impian
yang telah terpenuhi.

Aku masih merindukanmu
dan akan membawamu
sebagai kekasih yang menemukan
harapan dan tak ingin pulang.

Kota Kinabalu
3 March 2013

*AP Bebas Melata MELANTUN KASIH, EDITOR, Othman Ramli, Sarjana Media SDN                               BHD, 2013.