Thursday 26 June 2014

Bagaimana Aku Berterus-terang Padamu* (Puisi)(Metamorposis)

bagaimana aku berterus-terang padamu
gelombang datang bergulung-gulung
burung-burung terbang menyeberangi benua.

bagaimana aku berterus terang padamu
rumahmu gundah tidurnya dari semalam
kau telah mengulang khabar kedatangan.

bagaimana aku berterus-terang padamu
setiap kata kaulafazkan mengalir
seperti air terjun sejuk pelepas dahaga.

bagaimana aku berterus-terang padamu
gema suara yang datang membawa pesan
malam masih gelap dan tidur gundah.

bagaimana aku berterus-terang padamu
sebuah gunung di musim-musim jerebu
ada kaki tergelincir ketika mendaki.

bagaimana aku berterus-terang padamu
anak tebing akan runtuh
alir sungaimu pasti berubah.

bagaimana aku berterus-terang padamu
keamanan akan sirna tanpa keadilan
keadilan harus merata pada semua.

bagaimana aku berterus-terang padamu
gerhana dalam sukmamu
kekalahan di malam derhaka.

bagaimana aku berterus-terang padamu
berita itu bukan rahsia
berhentilah berkhianat.


Wednesday 25 June 2014

Kau Gunung Yang Bertahan*(ITBM)

Laut menggirim gelombang
langit seperti tertumpah dawat
Ada pulau tercampak,
tenggelam
jerebu di kanta mata
mengapa kau menubah
sungai yang bersahabat
tanah yang selalu tulus
Sayang, penolakkan itu
membawa mimpi buruk.

Belayar lepa-lepaku
ke tanah makmur
badai samudera telah redah
ruh-ruh jahat di lautmu
telah terbakar hanggus
dalam sukmamu
masih ada kekuatan
kedatanganmu membawa
berita keselamatan
kembalikan bintang-bintang
kedamaian dari belenggu
malam-malam yang keliru.

Bagaimana aku bisa tidur
damai
sekiranya kau masih
bermain api di pojok malam
lalu berlagak lanun di perairan.
di tanah leluhur ini
suaramu benar dan gemanya
membangkitkan keberanian
yang wajar.

Usah kau conteng  halaman
sejarah dan
mindamu
tiada yang dapat
meruntuhkan pada gunung
yang bertahan.
Ciumlah tanah gembur ini
kenal baunya sampai kiamat.
kau akan kembali dengan damai
sesiapapun tak bisa membohongi
anak tak berbangsa
lahir sebagai pendatang
di bumi leluhurmu.

Langit memperingatkanmu
kemenangan diraih
dari jiwa yang tawajuh
seperti kesabaran bumi
sekalipun banjir dan gempa
tofan dan keserakahan mereka
ia tetap bertahan
kerana Tuhan tak membiarkan
kejahatan dimahkotakan
lalu pergi sebagai perompak maut.

Kata-kata yang terkumpul
hidup dalam cahaya doa
ke manapun kau berpaling
di situ tumbuh benih keadilan
sekalipun mereka ingin kau gagal
dan kecundang di siang hari
kau tak akan
membiarkan jerebu kebohongan
menggelabukan mata
menciptakan khayalan dari
timbunan kelicikan dan siasah buruk.


*ITBM Jun 2015





Tuesday 24 June 2014

Lata Kinjang, Namamu Terukir Di Sukma*(AK)(Lanskap)

Aku merinduimu maka puisi ini tercipta
Lata Kinjang, mereka yang lalu pasti
berhenti dan menikmati kesegaran airmu
di situ pernah musafir mengambil wudhu
mengerjakan solat setelah itu beralih pergi.

Di dadamu, rimba jati hidup terlindung
air terjunmu melepaskan lelah dan dahaga
cerita keindahanmu melangkahi sempadan
mata yang melihat pasti membualkanmu
segala puji-pujian mengalir sampai ke muara.

Lata Kinjang, namamu terukir di sukma perindu
ribuan tahun mendatang, dalam kasyaf sempurna
halaman sejarahmu seperti air mengalir
lalu menjadikan air terjun menyejukkan
pengunjung-pengunjung yang datang,

Kalau aku menyebut namamu
kerana kau, lambang kasih kesampaian
di dinding sukmaku telah kupahat
namamu dengan tangan kasih
Lata Kinjang, kenampakkan-Mu yang abadi.

*diterbitkan dalam antologi puisi Kinjang diselenggarkan oleh Onn Abdullah, 2014, Persatuan Karyawan Perak, *Ipoh*.






Lata Kinjang* (AK)(Lanskap)

Lata Kinjang
airmu mengalir dari sukma samawi
lembut dan jernih bagai mata kijang
gema suaramu menuruni lembah
seperti nyanyi indah yang menidurkan
musafir yang lelah.

Lata Kinjang
Pepohonan redang di tepian
bagai pahlawan berdiri tegak
menjagai dan melindungimu
memandang langitmu dan meresap
puas udaramu ke dalam
rongga dada dan urat-urat serambi.

Lata Kinjang
tak akan kulupakan namamu
sekali aku mencercah kaki
dan mandi adalah kepuasan
dan ingatan sepanjang hayat.
Seperti aku merasakan nafasmu
dari celah-celah batu
dan mencium dahiku,
adalah rahmat dari masa silam.

Lata Kinjang
kau adalah anugerah Tuhan
tak pernah kering dalam segala musim
doa turun-temurun dari leluhur
waris peninggalan abadi
makmur dalam ingatan
Generasi muda, kau penerus
impian semalam
menyempurnakan kerinduan berkurun.

*Diterbitkan dalam antologi sajak Kinjang diselenggarakan oleh Onn Abdullah, 2014

Musafir Menjelang Ramadan

Kau tak mengira sudah berapa ribu langkah
kakimu melangkah dari desa matari turun
menurun lembah ke benua selatan,
masih belum sampai
Sudah berapa sempadan kau melangkah masuk.

Di tanah leluhurmu, kau telah menimbus
sejarah keluargamu dan sekarang kau, orang pendatang
terlantar di bawah matari jam 12.

Kau adalah musafir yang bermimpi
lahan baru tak kira di mana belahan dunia
malammu, hamparan tidur tak berantap
langit seakan runtuh dan daratan makin menjauh
kini kau menghadap ke lautan dan benua selatan.

Usia seakan memamah kulit dan wajahmu
suaramu terdera dan gemanya jatuh dalam gelombang lautan
Sudah berapa Ramadan kau terbawa mata angin
Menjelang Ramadan ini kau ingin melupakan kejora
pasrah pada deru angin dan lambaian bintang Southern Cross.

Ya Rabbi, Ramadan ini bukan yang terakhir
dan mimpimu malam itu
kau tercampak di tengah lautan
dan berenang ke batu karang tanpa pantai
Suatu pagi kau terbangun
di Pusat Penahanan Pendatang Haram
di pulau asing
memandang langit dan cuba membaca
awan yang bergerak.

Menjelang Awal Ramadan

Bumiku biar kau dingin sepanjang bulan Ramadan
bersih dari bau mayat dalam udaramu
mesjid-mesjidmu aman dari penceroboh
bom grenade dan pelepasan dendam
kemarahanmu terperosok hanggus
di lahar gunung berapi.

Di lautanmu deru gelombang kedamaian
di tanah benua kau tekun meraih purnama
di langitmu udara harum dari taman
di dalam sukmamu kau telah mengalahkan
nasf-i-amarah.

Tidakkah kau lihat wabak maut
telah memenuhi langitmu
tanah bumimu meraung kesakitan
berkurun-kurun
tapi, kau masih tak ingin berhenti
menzalimi saudaramu sendiri
malam makin panjang
cerminmu jatuh pecah seribu
kau tidur seakan esok tak akan datang.

Adakah oasis pelepas dahaga
di tanah gurun
semakin hari kata-katamu
kehilangan taji
mereka mulai mempersenda
bulan dan bintang.

Kesabaran gunungmu
teruji
tiap keputusan  dan hukuman
adalah hikmah
Kemenangan rohani ummah yang satu
supaya kau tak akan kalah ke sekian kali.

Kalau kau tak ingin memadamkan
api sengketa ini
sepanjang kurun
dendamnya tak akan hapus
maut menjulurkan lidahnya
mengubah siang menjadi malam
dan malam memanjang ke dalam siang.






Harimau Sukma*(ITBM)

Bagai panah terlepas dari busurnya
mulut mengunyah api belerang
kuku siap menerkam mangsa
kata-kata api gunung berapi.

Langkahnya, langkah pendekar
di tanah lumpur.

Ia telah membakar hutan
penghuninya sirna
yang tinggal sepi
di tanahmu.

Kini harimau sukmamu
menggaum sepanjang malam
esok, ia mencari rimba jauh
di pergunungan.

Di sepanjang jalan pulang
matanya menunduk
ketika tiba di halaman
ia mengaum, memanggilmu
lalu berkata,
biarkan  harimau
tinggal di rimba sukmamu.


*ITBM Jun 2015

Aku Masih Bersamamu, Ramadan*

Aku menunggumu
seperti menunggu
kekasih datang
tanpa berdandan dan
memakai pakaian baru.

Ya Rabbi, biar kata-kata
bukan tombak yang dilontar
setiap kali denyut
nafas mengucapkan
benar-benar dari bumi
merekah dan gembur.

Di malam penungguan itu
kau telah menyiapkan
dirimu dikorbankan
seperti dalam mimpi Ibrahim.

Aku mendengarkanmu
bagai Ansarullah siap
melepaskan rantai
yang mengikat
dalam belenggu waktu.

Anak bulan di samawi
syukurlah aku masih
bersamamu.


Di Belahan Bumi Menunggu Ramadan


Gelombangmu datang menuju utara
menghempas tanah daratan pulau ini
sampai jauh ke dalam
air telah pasang dalam
membawa rumpaian kenangan.

Kita tak akan berhenti di tengah jalan
gema suaramu menenangkan kalbu
bagai gerimis menghidupkan panen.

Di ladang sukmamu,
kau mendambakan
makmur pada setiap akar
makmur pada setiap kata.

Aku akan menolakmu ke depan
sekalipun batu kerikil melukai tapak kaki
kalau memang janjimu
akan kubawa kau ke samawi.

Di jalan-jalan jerebu
suaramu bergema
seperti api bertukar angin
diamku bagai gaung
yang tak terusik.














Cinta Terkabul Di Malam-Malam Ramadan

Aku datang kepada-Mu pasrah
tiada kepayahan kalau memang
ada keupayaan dan kesabaran.

Tancaplah kesabaran di dalam sukma
supaya aku tak gusar apalagi ngomel
di sepanjang jalan.

Sememangnya jalan tak selalu rata
lautan teduh tak selalunya tenang
gerhana hanya sementara
purnama diraih setelah sabar dan doa.

Kedatanganmu membawa damai
angin dingin dari benua
gema menara turun ke lembah
ketulusanmu tak pernah kendur.

Merahmu bunga mawar
rohanimu sungai mengalir
kau adalah matari makmur
cinta terkabul di malam-malam Ramadan.




Monday 23 June 2014

Ibu, Mama, Ummi Puisi Buat Muhammad Firdaus (OKU)*

Malam tak seindah bila terpenjara di dalam kamar
Siang, hari-hari kelaparan yang tak terhitung
di sini deritamu tumpah dalam selang waktu
Kau tak pernah dicari kerana kau memang di situ
menunggu itu bukan satu janji yang dipenuhi
Suaraku tak akan menembusi dinding waktu
ia melayang-layang seperti daun kering jatuh di atas lantai.

Gelap panjang tanpa mimpi manis
kau tak ketagih sekalipun musim buah di  luar
Di sini tak ada musim, yang ada adalah kelaparan.
Aku hanya bermain dengan teman, nafasku sendiri
menjerit-jerit dan cuba mendengarkan gemanya.
Telah lama aku tak melihat hujan atau pelangi
salak anjing yang menghalau mimpi di lembah Nabalu.

Aku merindukan langit dan sekarang pintunya terbuka
Kau terus bertanya dan di matamu melihatkan kasih
sukmaku hanya dapat berkata, "Ibu, Mama, Ummi."
Di ranjang ini, aku bayangkan mata bintang berkerdip
dan gema suaraku bersambut menjelang muncul
anak bulan di samawi, aku menggenggam tanganmu
Ramadan Al Mubarak.










Friday 20 June 2014

Terima Kasih Tuhan*(ITBM)

Kalau kau ingin bintang,
akulah bintang di langit Kinabalu,
Kalau kau ingin seteguk air,
akulah air bening
mengalir di rongga lehermu,
Kalau kau ingin tidur tenang,
bisikkan
nazam ke telingamu
seperti ibu menidurkan anak,
Kalau kau menunggu besok
datangnya sebuah harapan,
menyenangkan sukmamu.
Kalau kau ingin rembulan penuh
panggilan nama-Nya,
Ia pasti datang
dalam cahaya purnama.
Kalau kau ingin
kenampakkan-Nya,
panggillah
pasti Ia menjawabmu.
Kerana Ia terlalu dekat.
Dan kasih-sayang-Nya
tak pernah luntur
dan lebur dalam waktu
Kalau aku mengenangkanmu,
kerana rindu,
esok, ketika menghirup udara pagi,
kau masih di sini
Terima kasih Tuhan.

*ITBM Jun 2015

Jalan Ke Selatan* (Mama)

Bualnya
seperti letusan minyak panas
memercik
mendekatinya
seperti memasukkan
tangan
ke lubang Ular.

Sudah berapa kali
diumumkan
pada dinding telah
ia tampal suara perintah
datang
bagai deru gelombang
dan badai malam
menghempas-pulas
tiang
rumah kasih-sayangmu.

Hujan turun
masuk
ke dalam halaman
akar-akarmu
menyerap sepuasnya
seperti musim kemarau
telah berakhir.

Kau menggulung
malammu dalam diam
jalan ke selatan
menggusikmu
dalam mimpi
jalan panjang
tanpa belokkan.






















Ramadan, Aku Ingin Memelukmu (Buat Mereka Yang Sakit dan Uzur)*

Harimu bagai dilipat-lipat
tanpa bersampul surat.

Sepi kembali di kamar wad
rindu pada nyanyi cicak di dinding
rembulan redup di penjuru malam.

Dan kau masih menunggu.
Angin belum kesampaian entah tersasar
dan berhenti di hujung tanjung.

Datanglah mimpi
kuntum-kuntum
bunga berjatuhan
merah bungamu.

Kau ingin
mencium bau harum melati
dan Kenanga.

Tiap malam
kau dekat terasa jauh
Anak bulan di Nabalu
gemamu adalah suara rindu

Ketika datang isyarat samawi
Ramadan, aku ingin memelukmu.


Thursday 19 June 2014

Burung Kenari* (Burung)

Mengapa kau tak membawa
pulang burung Kenari itu?
biarkan ia pilih langit dan benua.
Gema suaranya melintasi
lautan pulau teduh
setiap kali di Tanah Peribumi
ia tanggalkan bulu kepaknya.

Siang itu burung Kenari
telah terbang mengawan
melepas rindu pada samawi
tiap kali ia rasa
langit memberikan awan
sebagai dahan bertenggek.

Mimpimu malam itu
Kenari telah menyeberang
sempadan dan bersarang
di depan pintu kalbumu.

Matahari membawa tukaran musim
Rembulan di malam perkasa
berpesan burung Kenari
kau hidup kembali
daerah-daerah maut
telah bertukar wajah
jadi tanah gembur.

Nilai
2014







Thursday 12 June 2014

Nisfu Syaaban*(UB)(Terbit)

Menatap samawi dalam kanta mata malam
Nisfu Syaaban telah tiba pintu rumahmu terbuka luas
siap menerima tamu dan purnama menyentuh
wajah dan sukma yang rindu.

Memandangmu lebur dalam cinta ranum buah
ketika kalbumu merayu bumi menerima gerimis
tanah merekah dan bernafas, di dadanya tumbuh
salam pada samawi dan salam pada bumi.

Malam-malam yang makmur dan damai
tiada akan tersiksa dan tali-temali telah mengikat
dari langkahmu pertama, sampai meraih manis madu
pemilihan kata dan menjadi kalimat doa sempurna.

Tenang, tenanglah sukma
bagai kekasih yang disiapkan penungguan mengikut arus
degup kemenangan meraih malam Lailatul Qadar
Ramadan, kau turun bagai hujan di Tanah Gersang.

*Tersiar Di Utusan Borneo 15 Jun 2014

Tuesday 10 June 2014

Daras Malam-Malam Ramadan*(UB)(Terbit)

Anak bulan di lautan
Purnama di benua malam
Langit tetap tak akan berubah.

Di musim begini
aku tak pernah salah alamat
tentang terowong hitam.

Ini bukan ilusi atau fatamorgana
yang mendambakan selalu di saf depan
daras di malam-malam Ramadan
selepas solat Tarawih
kepada kepala menunduk dan mendengar.

Seperti butir-butir bintang di langit malam
keramaiannya adalah perutusan samawi
yang tak akan pernah dikalahkan
sekalipun kekuatan malam gerhana
tak akan dapat bertahan.

Dalam kalbumu ada anak bulan
persis di langit malam
lalu di situ tumbuh purnama
dan cahayanya tak pernah padam.

*Tersiar Di Utusan Borneo 15 Jun 2014

Monday 9 June 2014

Beduk Ramadan*(UB)(Terbit)

Ayuh pukul beduk biar dapat didengar
oleh sukmamu di hujung tanjung ataupun di tanah benua.

Aku merindukan alunan rentakmu
di pergunungan yang berkabus
di lembah hijau tropik dan langit senjamu
yang sirkah.

Aku mengenang seorang teman
pemuda desa pemukul beduk
dari perlahan dipercepatkan tempoh
gemanya jauh ke dalam sukma
dan mencercah samawi.

Ayuh pukul bedukmu
kirimkan kerinduanmu
Menjelang takbir pertama bulan Ramadan
Kekasih, aku telah melihat anak bulan
dalam sukmamu dan di langit
para perindu puas, isyarat itu
perlumbaan kudus meraih kemenangan rohani.

Ya Rabbi, bukankah ini tradisi para anbiyya
mengerjakan puasa dan menaklukinya
wajah tersenyum lalu mengucapkan alhamdulillah.
Aku tanah rapuh sekalipun begitu
aku ingin menjalani malam-malam Ramadan
dengan kepala dan sukma menunduk.

*Tersiar Di Utusan Borneo 15 Jun 2014

Kedamaian Sukmamu, Kemenangan Rohani di Bulan Ramadan*(UB)(Terbit)

Ya Rabbi aku hanya melihat
yang di luar jangkauanku hanya Engkau
yang memiliki kekuasaan itu.

Ramadan Al Mubarak
datanglah kau dengan angin dingin
membawa berita sejuk.

Serapkan ke dalam sukma ini
Kasih-Sayang-Mu
bukan benih perpecahan
di tanah dendam kesumat dan
langit maut sirkah.

Siasahmu semakin kusut
Di mana angin perubahan di bumimu
tanahmu seperti gunung berapi
menunggu saat meledak.

Burung-burung Kundur merobek
dadamu dan kau lemah tak bermaya
kau seakan mati
sedang kau masih hidup,
Maut telah berkhutbah di atas mimbar
meminta banyak korban.

Ramadan Al Mubarak
padamkan api itu setiap kali mereka ingin
membuat api di Tanah Leluhurmu
bongkarkan kejahatan mereka
alirkan air mengalir ke dalam sukmamu
dan melihat samawi itu
adalah tangan pelindung dan menjagai.

Kedamaian dalam sukmamu
kemenangan rohani
kemenangan sejagat.

*Tersiar Di Utusan Borneo 15 Jun 2014




Sunday 8 June 2014

Kerinduan Yang Sempurna Menjelang Ramadan*(UB)(Terbit)

Aku hanya seorang khadim dan Ansarullah
di Tanah Lahan Baru aku mengumpul
kambing di perbukitan lembah hijau.

Anakmu jauh di tanah matari condong
Tapi suaranya bergema dalam gegendang telingamu
tidak terlalu keras seperti burung kakatua yang terlatih.

Yang pasti Ramadan ini kita terpisah
bukan kehendak air melimpah dari dua arah
suara dan tawamu masih mengiyang
seperti keriangan burung pagi.

Kita tak selamanya harus menatap langit
dan berpijak di bumi yang sama
Kau telah menghanyutkan aku ke istana fir'aun
mata tuamu puas kerana suaraku masih bergema
dan mengandung makna.

Ketika aku rindu dan sakit
getaran sukmaku menyentuh nalurimu
melangkahi benua dan lautan
tiba berkepak membawa alamat.

Menjelang Ramadan ini
Kukumpulkan tenaga
Kuda semberani, matamu masih berkilat
dan derap kaki masih  bisa melangkah
tujuh lautan dan tujuh petala langit
Gazelku, kau memang aman di dalam sukma.
Terjahmu dalam udara samawi Ramadan
kerinduan yang sempurna.

**Tersiar Di Utusan Borneo 15 Jun 2014

Tilawat Menjelang Ramadan*

Gema nafasku sederhana
pecah-pecah ombak di malam purnama
berhenti sebentar bercantum kembali
sepi di malam penantian.

Aku bukan seorang qari
ketika aku membaca kitab-Mu
seperti berada di lautan damai
dan gema di pergunungan.

Ma, kaulah juga mempersiapkan supaya
gunung dan air terjun di dua lembah ini
mengalir tak berhenti.

Seperti matari aku
tak berganjak mengirim cahaya
tiap pelayaran membawamu
ke cakerawala dan orbit
impianmu.

Ramadan o Ramadan
harum musim bunga
baca, baca, baca
lautan maknamu
kuselami
Laguku seperti
ombak-ombak ke tepian.

Ketika aku melangkah kepada-Mu
seperti aku telah melihat asap di kaki langit
sebentar lagi kapal akan kelihatan
lalu ketika sauhu dilabuhkan dan kapal merapati
pelabuhan, bimbangku telah terbang dibawa angin.

Semangat Ramadan Lebur Di dalam Sukma*

Aku menunggu di pintu Ramadan Al Mubarak
bukan kerana aku tak berdoa sebelum ini
atau tak pernah sujud kepada-Mu
tapi, kedatanganmu menggenapkan harapan

Aku merindukanmu seperti para mutaki
di zaman permulaan dan kini
aku berada di penghujung
Ini aku datang, sekujur tubuh
denyut jantung masih teratur
aku masih bisa berlari walaupun tak
sepantas kijang di tanah lembah.

Sebatang pohon rendang di halaman sukma
daunnya lebar dan di situ ada sebatang sungai
yang jernih, aku mandi sepuas-puasnya.

Ramadan, biar Ramadan menyerap
ke dalam sukma, dari sana ia mengalir
ke dalam urat-urat serambi sampai ke ubun-ubun.

Aku bukan tetamu yang jarang-jarang pulang
aku telah merendahkan sayap ini
Lihatlah, samawimu ada sarang madu
dan menitis sepanjang waktu
lalu madu ini mengalir menjadi sungai
semua orang pun dapat menikmatinya.

Kini aku terserap pula seperti madu
menitis dan mengalir.

Saturday 7 June 2014

Dengan Sayap Kalam Aku Menerobos Samawi*(ITBM)

Setengah kurun kau
menyulami purnama
di langit kalbu
mindaku merayau
ke cakeralawala
galaksi ilmu
menebus pada
kerinduanku sendiri.

Aku telah mencium
harum bunga mawar
mendengar gema nasihatmu
bagai air mencurah
dari samawi.

Kau telah
mengajarku
mengerakkan
otot, sukma dan minda.

Pada air
yang mengalir
pada daun kering
yang lurut
dari gagangnya
pada sepi malam dan
bintang berserakan
Kau ada di situ.

Kau telah
memberikan aku kalam
menyelam
sampai ke dasar lautan
lalu terbang ke samawi
mengirimkan kerinduanku.

Pada pohon-pohon jati
di rimbamu
gunung bertahan
di lembah kalbu
kupacak huruf Alif
pada tanah gersang
pada pulau-pulau huruf lam
danau di kalbu huruf mim.

Aku melukismu
dengan warna hijau
amenyerapmu
dengan mawar merah
menciummu bau tanah
aku bertanya lalu
Kau menjawab.
Siang dan malam
malam dan siang.

*ITBM Jun 2015



Jam Dinding Sukmamu*(ITBM)

Aku melirik jam dinding
masih berdetak.

Kau duduk kepala menunduk
dahi bertongkat tangan kiri.

Di halaman malam
bulan berkembang seperti bunga.

Di luar ada sepasang sayap
memanggilmu tak berhenti.

Jam di dinding sukma
Senyap.
cakerawala pun diam
di galaksi dan planet baru.

Hanya rembulan
di kanan langitmu
berkibar bendera sukma.

Di tanah gembur itu
serambi darahmu
menjalar dan menghisap
air samawi.

Kau telah diperingatkan
kapal akan berangkat
jangan jadi penumpang yang lewat.

*ITBM Jun 2015

Wednesday 4 June 2014

Sungai Samawi Mengalir Ke Dalam Sukmamu*(ITBM)

Sungai, kau telah mengalir dari setitis air
antara dua lembah gunung ke laut lepas
arusmu perlahan  melewati batu-batu kelikir
dan lapisan tanah dan celah-celah bukit
berlenggang-lengguk lalu membesar dan
menjadi air terjun dan namamu di hujung lidah.
Sukmamu tak pernah mengalah pada ratusan tahun
dan tak akan pernah kering dalam segala musim.

Sungai ini telah bercabang  dari satu sampai puluhan
malah ratusan, ada yang menjadi sungai kecil dan
ada pula menjadi sungai yang besar dan bercantum
dengan laut teduh dan lautan senantiasa bergelora.
Di bawah langit, sungai ini senantiasa mengalir
dan tak akan berhenti sampai akhir zaman
Ia tetap mengalir dan  dan memasuki desa-desa
dan daerah-daerah perang dan memukul-mukul
benteng Zulkarnain di Asia Tengah.

Pada bulan purnama, kau dapat melihat
sungai yang ini  di dalam cahaya bulan.
sungai ini adalah mengalir dari masa silam
dan menjangkau langkaran ke masa mendatang.
dan mulut-mulut yang dahaga akan minum
dari sungai ini dan mereka tak akan merasa puasa

Dari Kepala kampung, Kepala suku, Orang hulu
dan orang kota, dari orang kebanyakkan, pelampau kanan,
kiri,  golongan pembangkang dan Presiden dan
orang-orangnya, monarki, republikan dan demokratis
dan regim diktator, orang lapar dan kaya,
kulitnya putih, hitam, coklat, sawo matang
akan minum dari sungai ini.

Airnya tak pernah kering, senantiasa mengalir
langit akur menurunkan hujan ketika airnya mulai
menjadi surut. Tiada yang mampan semuanya
dapat ditembusi oleh sungai berbarkat ini.
tulang-tulang dan tengkorak dan nyanyi mantera
yang membosankan itu disepak ke sana ke mari
dan orang tak mempedulikannya lagi.

Sungai ini adalah kehidupan dan sumbernya
dari samawi, airnya bening dan manis
ia mengalir dari tangan yang menciptanya
dari tangan Kekasih-Nya
kini ia mengalir lagi tanpa sempadan waktu
masuk ke dalam sukma
dan sukmamu berdegup hidup

Khabarnya ada orang yang ingin mengeringkan
sungai ini, tapi tak pernah berhasil sejak masa silam
dan sekarang ia mencuba lagi
tapi percubahannya tetap tak akan berhasil
gerhana di sukmamu telah menjauh dan sirna
dan kemerdekaan dan kemenangan ini
telah tersurat dan khabarnya telah pun dialamatkan
Tabir malam yang tersingkap
Ini adalah kebenaran, para mutaki yang sirna
dalam doa-doa terus memohon bukan golongan
yang berpaling atau bangsa yang derhaka.
Malam-malam Ramadan Al Mubarak
pintu samawi terbuka luas
meraih terkabulnya doa dan sempurnanya kasyaf
lalu kau mengatakan memang benar
Aku bukan diciptakan sia-sia.

*ITBM Jun 2015

Monday 2 June 2014

Wanita Melihat Langit Dari Kaca Krystal*(Suasana)

Kau, wanita melihat
langit dari kaca krystal
Malam majnun menghapuskan
grafiti sejarahmu di dinding sukma
meninggalkan tanah leluhur
mencari suaka di benua asing
empat anak duduk
di tepi jendela
langit malam mengintai
bulan purnama di horizon
'Kami akan ke sana.'

Mereka telah jauh berlenggang
gelombang waktu
seperti benang kusut
di Tanah Khatulistiwa
mimpi mereka telah melayang jauh
ke cakerawala dan galaksi baru
mengharap esok membawa
berita baru.

Tiap hari ia
cuba meraih purnama
'Datanglah esok wanita.'
cerita bergema dari telinga ke telinga
kematianmu terputus
impian suaka di negeri selatan utara
kandas di Tanah asing
terbuang ke lautan
tanpa ada hari berkabung.


Gemerincing Kaki Angin dan Purnamamu*(Harian Express)

Aku semakin rindu pada kanvas kosong
dalam sukmaku ada warna telah kupilih
sedikit sentuhan kanvas ini berganti wajah.

Aku dengar gemerincing kaki angin di hutan jati
lembut menawan seperti gumalai penari Keraton
ketika kupejam mata yang hampir tertutup
bagai degung bunyi gamelan dari samawi.

Kau yang menuangkan kasyaf ke dalam mata
dan aku menafsirkan pesan khabar gembira
aku telah mencium musim bunga di udaramu
diam alam bernafas dari perdu sampai ke akar.

Kata-kata gerhanamu telah hapus tenggelam
kegelisahanmu telah berakhir dan duka laramu
komet yang hanggus dan kuasa manteramu
telah patah sayap dan sirna selamanya.

Dalam diam bertafakur kata-kata lahir semula
gerak sukmamu, bagai kau telah melewati silam
sentuhan di kulitmu bagai perdu yang menetas
gemerincing kaki angin datang membawa alamat.

Doamu akhirnya terkabul dalam denyut waktu
seperti kuda semberani yang tangkas itu telah
membawamu ke garis kemenangan terakhir
sejak itu purnama tak pernah lepas dari sukmamu.

*Disiarkan Harian Ekspress 5 Jun 2016




Kau Musafir Membawa Sukma* (ITBM)

Kau musafir membawa sukmamu
tapi kau sendiri tak tau di mana
perjalananmu akhir.

Kelihatannya tak ada jalan kembali
pertemuan malam itu adalah
yang terakhir.

Gema suaramu makin jauh
cintamu bagai tak tertahan
dalam pergeseran waktu
terlalu cepat.

Dari barat kau terbawa jauh
ke timur. Kau masih mencari
persinggahan.

Siang yang terkupas
terasa pedih seperti tercuka

Gelisahmu seperti gelombang lautan
mengheret dan mencekekmu
ke Pusat Tahanan
di kepulauan asing.

Barangkali kau tak akan pulang
tanah airmu  jadi badai sahara
yang menerjamu dalam mimpi-mimpi gurun.

Kau cuba melupakan
ia selalu menyisip seperti hama

Kini dalam igau malam atau siang
kau berkata selamat tinggal

Kau musafir di persimpangan
Tuhan adalah kompas
dan kau siap pada segala kemungkinan.

*ITBM Jun 2015