Saturday 23 May 2015

Lajnah Imaillah

Purnama di langit-Mu
gema suara kebenaran ini telah sampai ke telingamu
malam panjang telah berlalu samawi telah menurunkan
hujan semi ke tanah-tanah kering kontang dan daerah rawan
tunas-tunas hijau tumbuh di tanah gembur pelosok dunia.

Amanat ini kasih-sayang dan kebenaran hakiki
memanggilmu ke jalan keselamatan Muhammad Rasulullah
lihatlah pada langit malam bintang-bintang gemerlapan
gerhana telah berlalu kemenangan ini telah dijanjikan.

Aduhai Kaum Lajnah
melangkah terus gema kebangkitanmu tak akan berhenti
tangan Khalifah memimpinmu sampai ke cakerawala
dalam takaran waktu pengorbananmu paling depan
kamu adalah Khadijah yang telah dipersiapkan.

Wahai Kaum Lajnah
beritakan kepada telinga yang ingin mendengar
ketuk pintu sukmanya dengan suara lembut dan menawan
bisakah kau halang cahaya datang dari Menara Masihi
menghalau sarang kegelapan sampai ke akar-akarnya.

Kaum Lajnah yang tersayang,
air matamu yang menitis atas sajadah di Malam Tahajud
kecintaan dan itaatmu pada khalifa waktu
semangatmu gunung bertahan dan ketenanganmu lautan teduh
kembangkan kepakmu dan terbanglah dengan nur Muhammad.

Lajna Imaillah, Purnama di langit Masihi
inspirasi nalurimu Al Qur'an shariff
tindakan dan mindamu sunnah Rasulullah
kelembutan sukmamu amanat samawi
doa-doamu adalah air gunung yang mengalir.

Friday 22 May 2015

Rohingya Di Mata Aung San Suu Kyi (Boat People)(UB)*

Kehebatan apakah itu, ketika kamu diberi
lampu sorot dan pentas kamu diam
seperti tunggul reput di pinggir jalan
Diammu itu hanya memberi laluan
rasis pendeta dan penyokongnya
telah membaca isyarat
mundar-mandir seperti algojo
menjatuhkan hukuman.

Kamu telah menconteng langit Rohingya
meregut tanah di bawah telapak kakinya
duduk di atas pagar lalu mengira untung
malam panjang di langit Myanmar
jalan ke Arakan bumimu merah
tapi, kamu masih tak berkata diam.

Rohingya,
kedua tangan Aung San Suu Kyi
telah melepaskanmu
petualang bangsa melaungkan slogan
merampas milik dan hak Rohingya.

Aung San Suu Kyi,
penganiyaan Rohingya harus berhenti
tak lama lagi cuaca bertukar musim
tapi, kegelapan masih mengurungmu.

*Disiarkan oleh akhbar UB 27 November 2016




Rohingya seperti Bola Ping Pong (Boat People)

Sampai bila Rohingya bisa bertahan
di lautan samudera dan langit terbuka
Mengapa menutup pintumu?
Suaramu tambah lancang dan sombong
tiada yang dapat meramal esok
giliran siapa yang terumbang-ambing
patah kemudi dan terbawa arus
atau tenggelam tanpa berpaut.

Mengapa tidak kamu berikan sebuah Pulau
persinggahan sementara ketika cuaca bertukar
Rohingya bukan bola ping-pong yang
kamu pukul sesuka hatimu
Samawi telah menggerakan sukmamu
Badai laut dan gelombang samudera
tenang dan damai
burung-burung laut berdatangan
hinggap di atas dek kapalmu.

Rohingya, gema suaramu telah
menusuk-nusuk seperti anak panah
ke dalam kalbu
Pendeta-pendeta mulai mengigit lidahnya
dan tak berhenti
tak ada kedamaian ditemui dalam malam meditasi
jiwanya kacau dan merontah di malam igau.

Kesabaranmu pasti terubat
Rohingya, tangan samawi turun membelai
kepala anak-anak dan isterimu
Kamu tak akan sendiri
arus lautan akan membawamu ke destinasi
langit  adalah bumbnungmu ketika panas terik
Rohingya, kamu bukan bola ping-pong.


Thursday 21 May 2015

Salam Rohingya Kepada Peribumi (Boat People)

Saudara peribumiku, maafkan aku kalau kau mencium
bau busuk tubuh ini kerana telah berhari-hari
dimakan matahari di tengah lautan.

Aku tak akan tersindir kalau kau menutup hidung
lalu menghulurkan sebotol air mineral dan sebungkus nasi
rasa malu tak kuhiraukan lagi kerana kelaparan.

Kau belum tau kami selama ini
Rohingya, orang tak berbangsa
mereka membunuh Rohingya
dan mengosongkan tanah Arakan.

Bukan kemahuan kami melangkahi sempadanmu
pendeta-pendeta semankin lancang suaranya
bahasanya kesat, kurang ajar dan lucah
dan telah menyesatkan negeri berbangsa-bangsa.

Kami digulung gelombang samudera
daratan tampak seperti menjauh dan impian kami
seperti tercampak ke dalam lautan yang dalam.

Saudara peribumiku, kau telah memberikan
tanah untuk kami, Rohiongya berpijak
dan langit untuk kami pula menyematkan
mimpi pada bintang malam.


Rohingya Di Lidah Pendeta Ashin Wirathu (Boat People)(UB)*

Dari mulut Ashin Wirathu keluar lidah api
bahan apinya fitnah dan kebencian
di jalan-jalan dan lorong-lorong malam
jatuh korban anak-anak Rohingya
terbakar hanggus atau maut di tali gantungan

Siang yang membakar
bergelimpangan bayi-bayi kaku
dan bau mayat-mayat hanggus
bergelimpangan di atas jalanan
tiada upacara ugama
longgokan ibu tua dan gadis Rohingya
terkerat-kerat luka parah
bumi seperti tersiram cuka
darah Rohingya.

Hari ini kamu didera seperti hewan
sekalipun bertiarap mohon dibebaskan
hayunan parang dan kapak masih jatuh
menyimbah bumi.

Rohingya, pendeta Ashin Wirathu telah
turun mengipas bara api dan membakar
halaman dan mimpimu.
Mengapa kamu harus menelajangi Rohingya
lalu membelasah dari kota sampai ke desa Arakan
di bibir pendeta tak ada gema suara kasih-sayang
kerana dalam sukmanya ada serigala penuh dendam.

*Disiarkan oleh UB 27 November 2016

Wednesday 20 May 2015

Ayah Rohingya Di Khemah Perbatasan (Boat People)

Mata hujan masih belum berhenti
di khemah perbatasan Bangladesh
seorang ayah memandang awan tebal
seakan mengirimkan pesan
tak ada jalan pulang
dan tak ada jalan keluar
mimpinya telah jatuh terhempas
lautan pun tak akan tergapai
desanya telah kosong
hanya ngongong anjing berkeliaran.

Matanya memandang terus
keluarganya yang lelap
bunyi perutnya seperti guntur
sampai bila tebing ini akan bertahan
langit Rohingya hujan belum berhenti
fikirannya seperti dahan kayu
terkandas di sungai sukma.

Ia seorang ayah seperti sampah
yang terbawa harus
ke mana, jalan buntuh di hadapan
Penyesalan seperti anak panah
menusuk-nusuk ke jantungnya.
Esok seperti tak akan terangkat
terlalu berat gunung yang didaki
dan sungainya deras untuk diseberangi.

Ia tak akan mampu bicara
sejauh mana dapat mereka angkat
mimpi dan harapan
terperosok di dalam limbo
kepaknya telah patah dan basah
tapi, monsun darat daya telah
berbisik ke telinga lautan dan laut Andaman
Angin dari Arakan  menerbangkan jerebu tebal
sampai ke sempadan
anjing-anjing pemburu masih lepas kurungan.

Seorang ayah Rohingya
terkandas di Khemah Pelarian
tiap malam ia meratap
dan ingin berpatah balik ke tanah leluhur.

Kapal Kertas Rohingya Belayar Di Lautanmu (Boat People)

Belayar kapal kertasmu
di atas gelombang lautan
Kau telah meninggalkan tanah Arakan
menyeberangi sempadan
angin teluk Andaman telah
membawamu ke Selat Melaka.

Terapung kapal kertasmu
menantang arus menuju ke negeri lepa-lepa
kau adalah nahkoda kapalmu
tak ada tangan yang menolakmu
berani menconteng langit biru
dan meroboh pelabuhan sukmamu.

Demi kehormatan Rohingya
belayarlah kapal kertasmu
membawa rindumu ke purnama
bebas dari jerebu api Myanmar
dan dirimu tetap Rohingya.

Mereka tak akan bisa menenggelamkan
kapal kertasmu dan sukma Rohingya
tidak sekarang dan esok
kemenangan seorang musafir
kesabaran bertahan pasti gerhana berlalu.

Tuesday 19 May 2015

Rohingya, Nyalakan Api Impianmu (Boat People)

Hari ini kau melihat unggun api
datang berkumpul di selokan
suara-suara itu seperti api sedang membakar
mereka menjadi kekuatan perosak
tanpa memilih jantina dan usia.

Siapa yang dapat menahan api amarah
ketika menyala lalu membakar
deretan dan bangunan batu
segalanya berjalan cepat
kesabaranmu ikut terbakar.

Rohingya, kini kau tak melihat unggun api
jelas kau terdampar di samudera lautan
merelakan segalanya kau tinggalkan
dalam keadaan terpaksa
di sini tendangan ombaknya
tak akan membawamu terlalu jauh
arus lautan berputar-putar
di negara jiran.

Air matamu telah kering
mimpimu telah senyap
sukmamu bertahan seperti gunung
kesabaranmu menyingkap pintu samawi
keributan ini akan beredar
Rohingya, usah pernah kalah
di tanah peribumi atau di lautan samudera
nyalakan api impianmu.

Langkah Kaki Rohingya Tak Berhenti (Boat People)

Bumi, kau telah menyaksikan kelahiran bayi ini
diberi nama dan keturunanmu dipanggil
Rohingya, pemukim Arakan daerah pergunungan
di tanah peribumi kau tumbuh membesar
dan rimba khatulistiwa ini saksi
kehadiranmu dari masa silam.

Siapakah kamu ingin mengupas kulit wajah
dan menghilangkan identiti bangsa Rohingya
lalu menconteng sejarah dan mengosongkan
pendetamu keluar sebagai raksasa berkeliaran
siang malam dalam keadaan lapar dan buas.

Di bumi peribumi langit kita junjung
kasih-sayang telah kehilangan mimbar
api nafsi amarah menjulang ke langit
kau tak ingin mendengar isyak derita
datangnya dari bumi Arakan.

Di semak dan sungai orang masih
turun memburu dan tanah Rohingya masih merah
hujan yang turun membawa lumpurnya
jauh ke dalam perbatasan dan lautan samudera
langkah kakimu tak berhenti berkelana.

Monday 18 May 2015

Tanah Merah Rohingya (Boat People)

Tanah merah  di tanah Rohingya
mengalir sampai ke perbatasan
debu desa-desa di gunung Arakan
langitmu jerebu dan bau hanggus
puing-puing kesabaranmu masih berdiri.

Kau bawa mimpimu dari gunung
menuruni lembah menyeberangi sungai
ke Teluk Andaman dan lautan luas
kau rela bergelut dengan samudera
badai dan angin atau tenggelam
di dasar laut dan langit biru.

Tak akan selamanya musim tengkujuh
tanah khatulistiwa akan berubah
kau tak akan melupakan tanah merah
impian dan harapanmu hidup dalam mimpi
dan tak akan pernah kau lepaskan
sekalipun mereka menutupi langitmu
dengan mendung tebal.

Gerhana di langitmu di malam kelam itu
telah sampai ke puncaknya
kerana malammu akan berubah
laut akan tenang dan angin akan bertukar arah
Rohingya, tanah merah masih dalam genggamanmu.



Adakah Perubahan Di Langit Rohingya (Boat People)

Dengarkan langit jika ada perubahan
adakah cuaca Arakan telah meredah
laut masih bergejolak di laut Andaman
tapi, kau masih menuruni lembah
menyeberang sempadan.

Di tengah malam kau masih gundah
dan menjerit sekalipun suaramu tak sampai
tanah seberang terasa jauh seakan
kau tak akan dapat ke tepian
kapal ini telah kehilangan kuasa
tapi penumpangnya memburu kejora.

Sudah berapa hari kapal ini berhanyut
gema suara penumpang mulai melemah
walaupun kau masih memanggil
gelora lautan tak akan berubah
kau terapung menunggu arus bertukar arah.

Rohingya, kesabaranmu dituntut
samawi mengirim pelangi dan hujan
gerak lautan menghantarmu ke daratan
gelombang suaramu terbang tinggi
membawa harapan ke benua baru.


Friday 15 May 2015

Anak Rohingya (Boat People)

Ketika laut kematian angin
ijin kapal telah berhenti
langit seperti negeri kenyangan
tak terjangkau.

Matari seperti batu-bara di atas kepala
anak Rohingya memejam mata
melepas sayap imaginasinya ke cakerawala
terbang tinggi-tinggi mencari benua baru
atau sempadan yang belum dipunyai.

Ia bayangkan Aladin dengan piala ajaib
konsentrasinya digandakan
beri aku tiga pilihan
setelah itu aku tak akan memintamu.

Sosok tubuh di atas dek
seperti terpanggang dan kelaparan
menusuk sampai ke hulu hati
bibirnya kering dan suaranya melemah.

Matanya masih terpejam
Ia mencipta seribu satu  watak pilihan
yang tak akan pernah dikalahkan
dalam medan pertempuran ciptaan
imaginasinya.

Kapal Pelarian Rohingya
berlenggang dibawa arus
matari telah condong
mereka masih menelek rahsia esok
atau lenggangnya sampai di sini
tak kemana-mana.


Gadis Rohingya (Boat People)

Kau telah banyak menangis
masa silammu penuh raksasa
bau tanah kelahiranmu
dan hujan hutan Khatulistiwa
kejutan ngeri di malam durjana.

Siapakah petualang yang masih
terus menghajar dan memburumu
kau datangi rimba supaya melindungimu
tapi, celakanya rimba jati
telah ditebang orang.

Kau meratap tangis tanah kelahiranmu
bagaimana aku dapat membuat kubu
sedang kegilaan mereka terus mendarahi
hak kemanusiaan sejagat.

Kau pilih samudera
membawa impian dan sisa-sisa mimpi
berhanyut tanpa arah tuju
berharap esok arus lautan
mendamparmu di tanah daratan merdeka.

Rohingya, Matamu Mengirim Isyarat (Boat People)

Terapung di tengah lautan
karam di sempadan negeri
menatap wajahmu
antara hidup dan mati
kemanusiaan seperti bola
yang ditendang ke sana ke mari.

Sebenarnya kau telah puas menangis
air mata menitis ke dalam lautan
tapi raunganmu hilang dalam
samudera
matamu mengirimkan isyarat.

Ya Rabbi, cukuplah sudah kesengsaraan ini
biarkan kami melangkah ke tanah dataranmu
kami telah puas berhanyut
mimpi-mimpi kami telah lama
hanggus di khemah-khemah pelarian
atau desa-desa Arakan.

Kami minta perlindungan
suaka luar negeri
tapi tak ada telinga yang mendengar
kejahatan petualang malam
masih datang membakar
dan memusnahkan sukma
dan mimpi-mimpi Rohingya.




Kamu anak keturunan Rohingya (Boat People)

Apa yang ingin kuceritakan padamu
apakah kau ingin melepaskan masa silammu
melemparkannya lalu menjadi
desa yang ditinggalkan
kehilangan penghuni mengungsi
entah di bumi dan langit mana?

Di sini anak pertamamu telah lahir
tumbuh membesar menjadi orang kebanyakan
di pasar raya ibukota.
Rohingya asal-usul bangsamu
desamu di perbukitan yang indah
kini daerah rawan yang kosong.

Kamu anak keturunan Rohingya
semudah itu kau melupakan
jilid sejarahmu yang berdarah
kezaliman yang disembunyikan
dalam gua tamadun manusia.
Lidahmu dipotong dan mimpi-mimpi
dimusnahkan.

Di tanah asing matarimu bersinar terang
tapi sukmamu merontah
kerana dirimu telah kehilangan
tanah leluhur, tradisi dan budaya Rohingya
Ke mana anak Rohingya selepas ini?
tenggelam dalam hiruk-piruk
layan sendiri mengaut keuntungan
putar belit orang kota.

Cerita apa yang ingin kau dengar
tentang perjuangan Rohingya
ribut badai Teluk Andaman
kapal tanpa Nahkoda dan anak kapal
terombang-ambing di malam durjana
tanpa wajah
tanpa dokumen.

Rohingya sekali lagi namamu disebut
supaya sejarahmu tak akan dilupakan.

Rohingya, halamanmu lautan luas (Boat People)

Kapal patah kemudi
gelombang telah mendamparmu
ke tengah lautan
langit gelap
suaramu hilang
di Teluk Andaman.

Tanah daratan kau tinggalkan
malam itu
telah menjadi gumpalan
masa silam.

Kau masih mengharapkan
pelabuhan teduh
atau sebuah pulau persinggahan
lenggang kapalmu
seperti dipukul sepanjang malam
kesabaranmu telah menipis.

Kau, adalah pendatang malam
di tanah leluhurmu kau
pelarian dan bangkai busuk.

Rohingya, halamanmu lautan luas
kau masih mengharapkan
kembang purnama di langit sukma.



Monday 11 May 2015

Tepung Tumpe Ma* (Mama)

Tepung dan air sedikit garam
kasihmu berbaur larut dalam
tepung tumpe.

Matamu redup tersimpan rahsia
seperti kasih sayang samawi
tiap gerak di sukmamu membawa
khabar gembira.

Tanganmu pernah menimang
bayi di pangkuan dan lagumu
adalah getaran di danau cinta
membolak-balik halaman kenangan
perutusan masa silam
yang mengalir terus ke lautmu.

Kata-katamu mengiyang-iyang
bergema pada lembah gunung
suara seorang ibu ditinggalkan
Kesabaranmu adalah bumi
dalam takaran waktu.

Kau, gunung yang bertahan
ketenangan nadimu berakar
di rimba jati
dan tak akan pernah dikalahkan
sekalipun mereka menjauh.


*Tepung dan air  seperti lemping
*Dkirimkan ke Dewan Sastera, 29 Julai 2015