Monday 24 November 2014

Kasih-Sayang Bumi* (UB) (Cemar)(Terbit)

Hujan telah berhenti
bumi meresap
dengan kasih
sejak turun-temurun.

Hari ini bencana telah datang
dalam satu malam wajahmu berubah
Kau, datang
bukan membawa kedamaian
sukmamu penuh api dendam

Di malam petualang
kau mengaum
tanpa sempadan.
Maut berjatuhan
kegilaaanmu telah
merampas kedamaian.

Dari mulutmu
memuntahkan api belerang
tindakanmu
sebenarnya kekalahan
kau telah menuntut
yang bukan hakmu.

Kasih-sayang bumi
telah teruji lagi
kurun-berkurun
ia mengandung
kebiadapan dan
menyerap kebohonganmu.

Bumi, kau tetap sabar
kerana di dalam diam-diam
kebenaran itu tumbuh
dari bumimu
dan samawi tak akan
meninggalkanmu sendiri.


*Tersiar Di Utusan Borneo 18 Januari 2015


Hujan Menjelang Maghrib*(AMNS)

Semalam petir dan guntur
seperti perang telah mula
meranapkan kemanusian
menjadi pasir.

Kegilaan itu
penyesalan
tak ada jalan pulang.

Malam gelap
ia menabur
benih-benih durjana
memujukmu
di persimpangan.

Inayah-Nya gemilang
dan tak akan terkikis.

Keangkuhan
tak akan membuahkan
harapan
hanya kemusnahan
dan penzaliman berkurun.

Kau
mendambakan
kebenaran.
Dan ia
tak akan terubah
satu iota pun
kekayaan firasat dan
tazkirah selepas subuh.



Sunday 23 November 2014

Sajak Tengah Malam Musim Banjir* (UB)(Terbit)

Malam bagai meniti 
di atas jembatan
mata masih terumpan 
sukma masih bertaut 
pada dahan malam.

Salam pada air
kau pembawa rahmat
tiap kata bersalut doa
tebing harapanmu
pada samawi.

Dingin di lembah
tanahmu digenangi air
ada suara masih 
menitip doa
malam yang sarat.

Kau mendambakan
langit cerah
atau sedikit perubahan
air mengalir
ke laut.

rimba yang basah
Malam ini sukmaku
gelisah
jalan ke kota 
telah tertutup
tapi tangan ini
menggenggam tanganmu
sekurangnya kau rasa 
hangatnya.

*Tersiar Di Utusan Borneo 18 Januari 2015






Friday 21 November 2014

Negeri Lepa-Lepa* (UB) (Lanskap)(Terbit)

Lepa-lepa ke tengah lautan
seribu harapan terbawa
angin menjadi hujan.

Pulau-pulau adalah sukma
bunga karang laut berkaca
gerak langit
gelombang dan angin.

Kau menganyam rembulan
budayamu terdampar di lautan
adatmu pada perubahan angin
bahasamu tutur hujan.

Lepa-lepa di tengah lautan
pernah kau nyanyikan
bait-bait puisi.

Kekasihmu membalas
gema rindunya ke cakerawala
disematkan  pada bintang
dan memulangkannya
pada angin malam.


*Tersiar Di Utusan Borneo 8 March 2015







Thursday 20 November 2014

Pemuda Rohingya Di Kota Lunsur (Boat People)

Di Kota Lunsur ini, siang rebah satu demi satu
ke atas pundak dan malamnya ia seakan
terlempar ke cakerawala tanpa kuasa untuk pulang
kembali.

Sukmanya merontah-rontah mau ke mana
di kota lunsur ia bagaikan terpenjara dan
kegelisahannya telah mencapai puncak
Di tengah-tengah kesibukan kota
ia lupa dirinya seorang Rohingya,
Pendatang Malam.

Ketika ekor gelombang menghempas
perut kapal
ditelan gelap malam dan deru angin lautan.
Ia tak menyangka ada pantai dan tanah darat
di pinggir mata.

Ia adalah pemuda terakhir desa Arakan
tiap malam igaunya mencari ibu dan adek perempuan
ketika mereka berpisah suatu malam
bulan gerhana di Arakan
mereka menjadi binatang buruan
di tanah peribumi sampai di tanah sempadan.
Sejak itu ia merindukan pada purnama
yang berselindung di langit Myanmar.

Di Kota Lunsur
ia mengharapkan pertemuan itu
meskipun bulan malap di perbatasan
suara ibu terbawa angin makin jauh
dan adek perempuan jejaknya tak ditemukan.




Tuesday 18 November 2014

Budak Rohingya di Khemah Pelarian (Boat People)(HarianEkspress)*


Hujan Khatulistiwa mengurung
anak-anak Rohingya
di khemah-khemah pelarian
di sempadan.
Siang terasa panjang
dingin menusuk tulang-belulang.

Di dalam khemah ini
ada seorang budak lelaki, gundah
gundah memandang keluar
tapak-tapak kaki di atas lumpur
ada yang telah ditenggelami air.

Lalu budak lelaki itu duduk melipat
kertas buku membuat kapal terbang
sambil bercerita sendiri tanpa pendengar.
Ia bayangkan kapal terbang angkasa raya
penumpang adalah dirinya sendiri.
Ia nekad akan berlepas sekalipun
cuaca buruk.

Khemah Pelarian Rohingya ini
digenangi air, hujan belum berhenti
jelas semua Rohingya ketiduran.

Budak lelaki itu membesarkan
bunyi suara mulutnya
kapal ini akan berangkat
lalu ia pilotnya sendiri melingkari
langit dan tanah perbatasan.

Ia melihat Arakan, tanah leluhur
kapal terbang kertas melayang
di langit biru
timur ke barat langit perbatasan
dihirupnya udara sambil melihat
desa-desa Rohingya yang kosong.

O Arakan, aku datang kepadamu
O Arakan, namamu tak akan kulupakan

Hutan Khatulistiwa
menyimpan rahsia leluhur Rohingya
kau tak akan dapat dipisahkan
dengan bumi Arakan.
Kapal terbang kertas naik ke atas
udara monsun lalu menjunam ke bawah.

Langit ini adalah langit Rohingya
bumi Arakian adalah tanah leluhur Rohingya.

Ketika hujan Khatulistiwa menampar pipinya
ia telah berada di luar khemah.
melihat kapal terbang kertasnya
menjunam ke bumi
jatuh ke dalam lumpur jalanan
khemah Perbatasan Pelarian Rohingya.

*Terbit di Harian Express 7 Mei 2015


Arwah Ibu Rohingya* (Boat People)

Anakku, kau usah takut pada langitmu
yang diconteng dengan kegelapan malam
penuh dengan raksasa yang meraung dan
mundar-mandir di Tanah Peribumimu.

Itu hanya bayang-bayang tanpa ruh
menderamu lupa tentang harga dirimu
sekalipun seribu malam diciptakan
memenjara dirimu supaya kau lupa
tanah leluhur dan dirimu Rohingya.

Mengapa sampai kehilangan arah
raksasa ini makin ganas dan zalim
seperti tak ada yang dapat menahan
mendung awan beralih dari langitmu
pemerkosaan anak gadis Rohingya
terbawa lumpur ke negeri malam.

Wahai anakku, ke mana kau pergi
buka jendela dan pintu rumahmu
biarkan siang datang membawa harapan
dan anak bangsamu Rohingya bukan
anak tak berbangsa di tanah Arakan.

Ketika langit damai, anak Rohingya
dapat mencium harum bunga di taman
cahaya siang adalah dinding sukmamu
kau tak akan berada dalam kegelapan
raksasa hanggus dalam peralihan zaman
kau dibebaskan di atas podium waktu.

*Dikirim ke Utusan Borneo pada 24 Mei 2015

Monday 17 November 2014

Kapal Sarat Anak-Anak Rohingya* (Boat People)

Di tengah lautan
kapal terapong kehilangan arah
dan pelabuhan menjauh.

Kapal kematian ijin ini
di pinggiran Lautan Hindi
walaupun hujan telah berhenti
tanah daratan tak tergapai mata.

Di dalam perut kapal
sarat penumpang anak-anak Rohingya
diam
seperti rampaian laut
yang berhanyut
mereka adalah anak lelaki
waris keluarga terakhir
memimpikan tanah daratan
atau pulau impian.

Kapal kehilangan tenaga
langit Khatulistiwa seperti memberi
isyarat ke arah mana kapal ini
harus belayar.

Alam seperti tak terusik
kapal sarat penumpang anak-anak Rohingya
Adakah angin malam dan gelombang kasih
membawamu ke tepian?

Bibir merekah dan kulit terkupas
gema suaramu terkandas di langit-langit
lamunanmu pada lautan
bila hujan akan turun sedingin air
terjun Kinabalu?

Di laut sempadan jauh dari
tanah daratanmu
anak-anak Rohingya masih berharap
datangnya gelombang besar
mendorongnya ke Tanah Seberang.

*Dikirimkan ke Utusan Borneo pada 24 April 2015



Rohingya, Bersuara Dan Melangkah* (Boat People)

Mereka telah memburumu dari segala penjuru
tanah di bawah tapak kakimu terlalu kecil
mencari tanah persembunyian.
Degup nafasmu terlalu keras dan cepat
sampai terkesan di telinga Petualang Malam.

Malam panjang telah turun di tanah Rohingya
kegelapan seakan tak ingin melepaskan
tempurung kepalamu
Matamu memandang langit
mencari purnama yang terbakar dan hanggus.

Di tebing kecil ini seorang ibu melepaskan
anak sulungmu dengan sayap-sayap doa
bertarung dengan gelombang
angin monsun dan angin baliung.
Ia, seorang ibu yang mengubati
rindunya dalam mimpi yang tak menetas.

Dari lautan anak sulung
terdampar ke tanah lumpur
ke hutan penyeludup ke tanah seberang.
Tiap petang
seorang ibu mendatangi tebing kecil
memandang laut luas
membual pada langit selatan
semoga ada arus menyampaikan anaknya
ke tanah benar dan kasih.

Laut Bengala dan Selat Melaka
seperti menyulam mimpi Rohingya
di tanah sempadan ini
suaramu mengetuk gendang telinga.
Kalau ia tak melihatmu, Rohingya
tapi, lihatlah tidurnya mulai gelisah.

*Dikirimkan ke Utusan Borneo 24 Mei 2015





Thursday 6 November 2014

Kepada Penyair Yang Telah Berpulang Buat R. Hamzah Dua Dan Jair Sulai*(dedikasi)

Aku melihat langit malam
bintang-bintang bertaburan
sekalipun aku di bumi
memang aku masih terasa
kehadiranmu.

Segaja aku memilih bintang
yang berkilau terang di angkasa raya.
Yang ini adalah penyair
dan itu adalah sahabat kedua.

Mataku setengah terpejam
meraba-raba langitmu
seakan aku dapat mengutip
satu dua dan tiga butir bintang
lalu menjelma menjadi batu
tangga naik ke atas.

Malam itu doa-doa telah terkabul
kuhirup udara rindu dan mulai
melangkah naik seakan angin malam
menolakku ke atas, dan terasa
ringan.

Ya Rabbi, kalau saja aku punya sayap
sayap pun tumbuh pada kedua bahu
aku melayang jauh ke cakerawala
melihat purnama penuh seperti
batu nilam

Kuucap salam mengenangkan kalian
terasa langitmu berlenggang lembut
butir-butir bintang bertukar wajah
huruf-huruf yang bertaburan lalu
perlahan-lahan berkumpul dan bercerai
lalu membentuk sajak-sajak di atas kanvas
aku pun membacanya dalam kerinduan.

Aku dan kalian adalah segenggam tanah
dari sukmamu telah bercambah benih itu
menjadi sebatang pohon kemudian hutan jati,
sungai, gunung dan laut yang terus mengalir
menjadi sumber inspirasi yang gemilang
ketika musim kemarau, langit menurunkan
hujan agar bumi selalu tak ketandusan.


* dikirimkan ke Majalah Wadah 2 March 2015
* dikirimkan ke Utusan Borneo Jan 2015


Berpulang Badak Sumbu*(NST) (Cemar)(Terbit)

Di tanah peribumi, rimba raya berkabung
Langit dan lautan menitip salam takziah
Suatu petang angin malam berhembus
Mengoyangkan dahan-dahan pepohonan
Sebutir bintang gugur, menipis
Hilang di cakerawala.

Aku mengenangkanmu kerana
Bumi telah memanggilmu pulang.
Di hutan ini, kesunyian telah
Menyerap sampai ke liang sukma.
Pemergianmu adalah satu kesedaran
Mengalir dalam terowong waktu.

Aku tak dapat membayangkan
Sebutir peluru menembusi tengkorakmu
kau terhukum dan
Kematianmu di perangkap samar,
Di tangan pembunuh yang
Berselindung dalam kegelapan malam.

Kota Kinabalu
9 Februari 2014

*Tersiar New Sabah Times 7 Jun 2015















Wednesday 5 November 2014

Suasana* (Suasana)

Tamu ahad
telah berangkat
senyap seperti hewan
sedang berburu
yang mengaji
telah pulang
tawanya tertampal
pada dinding.

Matari telah
beredar
seperti berselindung
di celah bukit.
Suasana di sini
seperti anjing
salak-menyalak.

Tenteramlah lautan
pintu gerbang-Mu
telah terbuka lebar
dan langkah kakimu
menuju jalan keluar.

Di tanah asing
kau melangkah
seperti
hewan buruan.