Monday 21 April 2014

Angin Dan Api*(ITBM)

Datanglah angin
aku tau kau datang
sebagai teman
menyejukkan diri
ketika bahang panas
mencengkam
api, sejuklah kau
sekalipun kekuasaanmu
bisa membakar
dan memusnahkan
berhenti di sempadan ini.
Usah bergerak
lebih jauh.

Kalau angin
kau datang
membesarkan api
lalu menjadi raksasa
memusnahkan ladang dan
lembah
Usahlah kau datang
sekalipun aku merasa
panas.
Hanya seteguk air dingin
melegakan rasa.

Turunlah hujan semi
dari langit samawi
sekalipun hujan renyai-renyai
akan menyegarkan langkah
ke arah tujuan.

Angin dan api
datanglah sebagai
teman dan
 bukan membawa
dendam dan kemarahan.

*ITBM Jun 2015

Mangga Muda(Pasifik)

Mangga hijau muda masih bergantung pada gagangnya
ada beberapa buah lain telah jatuh ke lantai bumi
semalam hujan dan sedikit angin bertiup tapi ia masih
dapat bergantung

Beberapa hari lagi  warna kulitmu akan bertukar
orang memang menyukaimu, manis ataupun masam
buah  mangg yang dalam dalam musimnya tetap manis
tapi, yang datang di luar musim tentu masam sekali.

Aku belum ada keinginan mau makan buah mangga
masanya belum tiba, rasanya barangkali manis
menunggu sedikit waktu tentu tak merugikan.

Honiara
2011
                                          





Satu Perjalanan Jauh*(ITBM)


Kau telah melepaskan
tepat pada sasaran
panah-panah ke langit
lalu menusuk ke dadanya.

Aduhai  Kuda Semberani
dan Gazelku
kurangkan larianmu
ada pemburu berselindung
dalam semak di lembah ini.

Siang ini
kita berpergian
dalam satu perjalanan jauh
tanpa menoleh ke belakang.

*ITBM Jun 2015

Memang Ada Kedamaian*(ITBM)

Gema suaramu telah mengiyang
sampai ke gendang telinga
pendengar baik kepala tertunduk
tak melihat jalan pertemuan
bayang-bayang kegelapan
mengisi minda dan sukma.

Aku ingin berteriak
sampai menyentuh samawi
bertafakur membina kembali kata
kalima doa-doa merangsang sukma
Tiada kesal dan apa lagi amarah.

Sedangkan aku bukan di pihakmu
bagaimana aku  berdamai dan
tenang menghadap-Mu
Akhirnya, aku pasrah
menundukkan kepala
memang ada kedamaian.

*ITBM Jun 2015

Sunday 20 April 2014

Langit Pasti Menurunkan Tangan-Nya**(Ketuhanan)

Sekarang tibalah sudah gilirannya minta maaf
setelah menampar dan memukul orang tau tak
menahu itu. Sampai percik darah di udara
menempal ke langit lalu menitis ke bumi.

Ia merasa serba salah, ada pergolakkan dalam
diri. Langit  saksi yang sabar melihat peristiwa itu
Yang datang menyerbu cukup dengan peralatan,
kemarahan dan bahasa kasar dalam aksi rombo.

Yang diserbu dikasari dan dimaki-hamun
tapi ia tetap tak berkata apa-apa menyerahkan
tubuhnya dikasari. Namun begitu ia dapat berlaku
sopan dan mengalah. Asal, hak tetap terlindung.

Di Tanah Pelangi ini, kau sendiri telah lelah
mengejar-ngejar dan kau yang tertuduh
adalah hewan buruan yang lari-lari sembunyi
esok, di mana lagi tempat buruan dan jam berapa?

Ketika aku menundukkan kepala
aku reda kerana Allah Azzali tetap melihat
dan bila mana siksaan makin hebat
langit pasti menurunkan tangan-Nya.

*Dikirimkan kepada Dewan Sastera 2014



Dai' Tua di Pinggir Malam* (Suasana)

Malam itu
mereka berbual
kegelapan mencengkam
sampai ke sukma.

Menikmati masa lalu
semangat matahari membakar
jauh dalam sukma dai'
air yang mengalir
ketenangan menawan.

Tak pernah ada penyesalan
di samudera lautan mana
atau di bumi kemarau kontang
kau hanya berkata labaik dan itaat
janji pengorbanan itu adalah
rembulan penuh.











Orang Tua Di Tanah Asing (Suasana)

Dia telah menemui kata-kata dan kalimatnya
di sebuah dinding gua silam jauh di luar kota
tapi ia melupai mengapa ia harus menulisnya
lalu meninggalkannya puluhan tahun.

Gema suaranya telah hilang dalam kepul udara
jauh sebelum ia teringat akan kembali ke sini
ternyata segalanya telah berubah, bukit-bukit
sukma itu telah diratakan.

Menurut orang yang melihat dan mengenalnya
ia telah berpergian dari kampung halamannya
sejak desanya masih sunyi dan sepi dari keriuhan
kota. Tapi kini, bandar raya ini telah menelan
desa-desa di sekelilingnya  lalu berubah menjadi
lorong-lorong gelap.

Di suatu kota yang jauh dari tanah air
ia berdiri, usia telah menjeratnya dalam diam
keinginan kembali ke desanya meredup
suatu hari ia berpapasan denga sekumpulan
pemuda berbahasa Melayu di tanah asing
kepala tenggoraknya seperti dicatuk kerana
puluhan tahun ia tak mendengar bahasa itu.
Wajahnya tersenyum kerana ia masih dapat
memahami bahasa ini, sekalipun ia telah
merangkak ke hujung senja.

Di jalan pulang di tanah asing
ia memandang laut siang dan akhir musim
Tengkujuh. Lalu berkata kepada dirinya sendiri,
'Ya, kau telah jauh berjalan dan belum pulang.'




Friday 18 April 2014

Kuda Semberani dan Gazelku telah siap*(ITBM)

Suatu pagi
Kuda Semberaniku
menderap ke depan
atari mendampingmu
lalu bergerak jauh.

Gazelku pula menerjang
dalam udara matari pagi
hari ini aku memberi salam
lalu melihatmu ke depan.

Aku mendengar
gema suaramu
pada sungai mengalir
dari dataran tinggi ke laut
indah bila terkumpul
diresap dalam sukma
dalam zikir Illahi.
doa-doamu terjawab
dari lidah seorang mutaki.

*ITBM Jun 2015


Tapau, Pulang Ke Rumah (Suasana)*

di dalam udara pagi kau berceramah
kekadang habis sebelum jalan-jalan penuh
traffik.

tiap hari kalau tak hujan daras subuh
dilajukan kerana semua orang bergegas
nak kerja. apa lagi kalau jualan sendiri.

kesabaran jadi tipis. Tak kira bangsa
memulai hari mesti tepat
datang lambat ditegur bos.

di bandar besar, biasalah melayan diri
di kedai  mamak atau gerai kecil di pinggir jalan.

ketika kawan-kawan datang dari jauh
kami tak masak di rumah
makan di luar adalah suatu kelaziman

menjamu di rumah memang jarang
dan tak biasa kecuali ada acara pengajian
jadi, kau tak usah heran kalau kau
sekeluarga diundang makan di luar.

kalau makan berdua, lama tak jumpa kawan
pulang nanti jangan tak tampau nasi
kalau tak mau mendengar yang pedas-pedas.


Thursday 17 April 2014

Senantiasa Cukup Tiap Siang Mendatang*(ITBM)

Kau asalnya
manusia tak pernah puas
apa yang kau mau, sudah ada
dulu kau hanya sekujur tubuh
lahir tanpa pakaian
sekarang tiap gerak
dan bualmu didengar orang.

Memang tidak ada apa-apa
mengapa kita selalu lupa
kita siapa

Lihatlah pada seorang fir'aun
akhirnya tengkorak dan
tulang-belulang
tiada apa-apa dibawa pulang.

Kau baca perintah
dengan nada tinggi
seperti algojoh tanpa
ada belas kasihan
beraksi dengan
segala balatentara.

Kalau berhajat
memotong rantingnya
kau  tak akan pernah
menumbangkan pohonnya.

Akar kebenaran
samawi telah melingkar
ke dalam sukma
dan tangan malaikat
menjagai agar takaran
air dan cahaya senantiasa
cukup tiap siang mendatang.

18 April 2014

*ITBM Jun 2015

Sukma Seorang Khadim (Suasana)

Lama sudah aku belajar tak menaruh dendam
sebagai khadim aku lafazkan kasih-sayang
bukannya mudah berdiam diri ketika dibelasah
sabar dan doa adalah senjata ampuh dan terbilang.

Kalau aku berbahasa sederhana dan mudah
tak bermakna ada isyarat aku membuka jalan
kau melihat itu satu peluang bertukar wajah
dan menghalal perbuatan khianat dan zalim.

Usah menaruh curiga apa lagi berprasangka
tiada lain selain kecantikan dan manisnya Islam
yang terucap dari sukma yang tulus dan sedar
bukankah kita terpanggil hidup berkasih-sayang?

Dapatkah aku membebat persaudaraan ini
apa lagi yang ingin kau ambil dan pinta
kalaulah kau ingin segala yang ada, silakan
asalkan kau tak melarang aku berzikir dan beristighafar.

18 April 2014






Langkah Kaki Seorang Ansar*(ITBM)

Tadi langit dalam kemarahan
aku hanya merenungmu tanpa
berkata.

Di lapangan ini bagai gelanggang
terbuka, di langit guntur dan kilat
tindih-menindih melontarkan kekuatan sendiri
bumi seakan terlayah dan pasrah.

Kau masih dapat mendengar gema
gelombang suara ini
sampai ke telingamu sekalipun
mereka berusaha supaya kau diam
dan tak berkata sepatah katapun.

Esok kita masih belum pasti
dan ke mana selepas ini?
Ini bukan medan tumpas-menumpas
dan kalah menang.
Perjalanan kita masih terlalu panjang
anjing-anjing berkeliaran dan menyalak
sampai ke jauh malam.

Tak perlu gembur-menggembur
ribut tofan dan gelombang laut
pasti akan tenang dan lautan
damai dan tenang kembali.

Aku hanya ingin menghadap-Mu
dan berbual dan menangis
gembira dalam sujud dan doa-doa.
Dari masa silam hingga sekarang
Kau mendengar dan menjawab.
Aku adalah seorang Ansar
panggillah diri ini Ansarullah
Ketika ditanya siapa tampil
ke depan datang mengkhidmati-Mu.
Siapa? Akulah Ansarullah itu.

Di lorong-lorong sepi
ketika kau tidur nyaman
dan langit fajar mulai berkembang
langkah kaki dan nazam
bergema memanggil kekasihmu
bangun mengambil wudhu dan salat fajar.

Mengapa kau terlalu keras hati
menghentikan aku dari memanggil-Nya
atau menahan diri ini menyatakan
cinta dan kasih-sayang dalam air
mata doa kudus. Aku adalah seorang
Ansar yang telah siap, menyerahkan
mahkota kebenaran pada taktha-Nya.


*ITBM Jun 2015

Wednesday 16 April 2014

Sarawak, Aduhai, Sarawak (Lanskap)

Sarawak, aduhai Sarawak
air sungaimu yang manis pernah
menjanjikan harapan di musim bunga
kata-kata tumbuh dari benih,
langit yang terpilih.

Ke mana perginya impian musafir
pernah bertanya arah jalan ke Kucing,
Desamu di pinggir sungai telah bertukar
wajah, dari pekan ke kotaraya.
Perindu, di satu kota lain, melihat
matari jerebu di sini. Dalam sukmamu,
ada ingatan tak pernah hilang meskipun
telah dicuba beberapa kali memotong
sampai ke tunjang ingatan. Tapi,
semusim kemudian ia tumbuh dan
hidup subur sebagai pohon kenangan
yang tak akan dicederai sampai di hujung
zaman.

Beberapa kali sempadanmu kulangkahi
berperahu di sungai kasih dan memasuki
bandar rayamu. Musafir tak rasa tertuduh kalau
di langitmu, kau melihat dalam mimpi
komet berjatuhan dan sejak itu kau adalah
kekasih telah menjauh ke cakerawala dan
tak pernah dikenang sampai hari ini.

Mitos dan legenda bandar rayamu
tokoh-tokoh perjuangmu dari langit silam
hidup dalam nafas generasi penerus.
Di bandar raya kasih, kau bagai melepaskan
kupu-kupu dari tanganmu.
Langitmu bagai dalam seribu warna-warna
lembut dan menawan.
Di sini, kasih-sayang merangkum
bumimu. Dan pintu-pintumu terbuka dan
tetap ramah mengundang pribumi.

Sebuah bandar raya adalah wajah sejarah
bangsa. Ruhmu tak akan dapat dikalahkan
oleh musuh kejahatan. Tiap bandar raya,
memiliki cerita sendiri, keanekaan itu
adalah Tanah Pelangi, dambaan sepanjang
zaman. Di rumah-rumah panjang sampai ke-
bandar rayamu dan petikan Sape membuai sukma
dan tari gadismu dengan gerak-gerak lembut
Kejora mendatang.

Waktu telah bergerak jauh ke alaf 21
Sarawak, bandar rayamu berdandan
ruhmu hidup sepanjang zaman. Dan setiap
langkah sergap kekasihmu datang
pasti tak akan membohongi dirinya
tentang keindahan dan ketahanan bandar rayamu.

Benar, kau pernah mencintai musafirmu
dan sekarang harapan rembulan penuh
dalam kuntum doa-doa musafir, pada
suatu hari kasih-sayang dan kelembutan
alir sungaimu akan membuktikan
kebenaran tak akan boleh dipinggirkan.
Kemarahan dan dendammu telah lama berubah
terhakis dari tempurung ingatan. Waktu pun telah
tiba menzahirkan Kasih-Sayang yang tulus
perutusan langit samawi turun bagai hujan
mengalir di sungai dan bandar rayamu.
.








Kau Tak Terpaksa (Suasana)*

Kau tak terpaksa membaca puisi ini
di luar hujan telah lama berhenti
dan peronda malam mulai berkumpul
dan berlumba sampai embun menitis.

Ketika kau tak melihat dan teringat
kau pun resah dan mulai mencari
sampai jauh ke lorong ingatan. Kau
berjaga di hujung hari atau pada
kegelapan malam kalau aku datang
mencarimu. Tapi tiada, kau terasa
dirugikan.

Manisku, ketenteramanmu terganggu
kau terus tak akan meninggalkan aku
sendirian. Fikiranmu serba-salah dan
tak pernah berhenti meluruskan benang
kusut. Sekalipun kau bosan melakukannya.

Berhentilah sejenak dan dilihatlah di laut
bangkai lima ekor penyu tenggelam-timbul
Kelihatannya si keparat itu telah menyiksamu
sebelum isi perutmu dikorek sampai maut.
Arus telah menghanyutkannya melayah ke
pinggiran pantai.

Tak ada dendam khianat apa lagi
menyakitimu dengan tangan dan lidah
Kita bukan pasangan kekasih. Jelas kau
selalu mengekori diri ini sampai ke cakerawala
kau cipta jalan-jalan gelap dan daerah-daerah
larangan dan menampal poster kemarahanmu
di dinding-dinding sukmaku.

16 April 2014

Monday 14 April 2014

Gak Gak Candawang*

Gak gak Candawang
bukan aku tak menyapamu
atau melupakan wajah rembulan
suaramu indah seperti gema air
mengalir di celah-celah batu.

Sendiri. Kaki melangkah dan
membiarkan dirimu terbawa
hanyut di kotaraya atau di desa
yang legang.
Apa kau katakan itu
adalah artifak di sebuah pulau sepi.
Kata dan kalimatmu seperti
tak tahan melawan gelombang
tepat di saat itu Kau datang.

Unggu warnamu
kerana di situ
ada ketulusan.

Gag gak Candawang
Kau telah tumbuh bagai
pohon nyiur di tanahmu
hujan di pedalaman
air turun ke muara
ada orang membakar hutan
di mana-mana.
Mengapa peduli
pada perosak alam
bumi terbeban ribuan tahun.
Semalam impianmu hancur
denyut bumi bergerak.

Gak gak Candawang
Suara yang kau dengar itu
membuat kau bersalah
lalu terhukum.
Tiada yang lebih hebat
perjuangan dan pengorbanan
sampai ke garis terakhir.
Siapa kamu ingin memadam sejarah
dan menconteng foto-foto silam
sekaligus memotong lidah.
Sebenarnya mereka
dalam kegelapan yang nyata.

Gak gak Candawang
aku mengulang kalimat suci
pengampunan alam sejagat.
Selebihnya itu Kemurahan Allah.
Ya Rabbi, akal budi adalah
senjata yang mampan
bahasa yang memikat
menembusi lapisan sukma.
Tiap kata dan kalimat
adalah kasih-sayang
yang melunakkan seorang kaisar
Siapa berdoa dengan air mata
di pojok malam yang dingin.

Gak gak Candawan
Aku mengirim doa kepada-Mu
dengan lidah lembut
kerana di situ ada harga diri
sekali lagi sukmamu teruji
pengorbananmu.
Siang ini kita berpergian
kau adalah seorang da'i
membawa khabar suka
di daerah-daerah rawan dan sepi.




Saturday 12 April 2014

Kita Belum Terlambat*(ITBM)

Kau datang tanpa diundang
datangmu bukan sebagai teman yang
jarang-jarang berjumpa
atau seorang malaikat membawa
khabar gembira.

Aku tidak mendengar salam
kau datang menyerbu masuk
sedangkan pintuku yang paling
ramah kau hempas dan bahasamu
bernada tinggi dan keras.

Mengapa kita lupa pada adat dan kesopanan
kau memilih chaos dan lagak gangster
sedangkan sukma dan telinga kami
menunduk menikmati kelazatan
dan santapan rohani.

Siapa yang derhaka memasuki
taman samawi dengan kasut berlumpur
Lihat, kami adalah nasir-nasir Allah,
da'i'illah yang turun di lapangan
bukan dengan senjata yang melukaimu
tapi, menyampaikan salam dan cahaya
ke relung-relung gelap sukmamu.

Bagaimana aku dapat menambat sukmamu
sedangkan matamu kau biarkan dalam kegelapan
dan telingamu telah lama tersumbat.

Aduhai kekasihku, sekalipun mereka
membina tembuk-tembuk menghalangmu
atau mendarahimu kerana ketololan dan
biadap yang telah lama bersarang dalam
sukmanya, jangan aduhai jangan sekali-kali
kau melepaskan kalimahmu,
la ilaha illallah muhammadur rasulullah.

Matarimu, bergerak jauh ke barat
kegelapan telah mencair dan sirna
kau tak usah takut dan gentar
yang tersesat di lembah-lembah raya

Lihatlah, pada langit samawi tak habis-habis
mengirimkan hujan musim semi. Dan perigimu
tak pernah kering. Mulai sekarang, kau bukan
sendiri, baiat telah kau pegang, sukmamu adalah
kembang bunga sejagat, doa-doamu adalah
doa-doa orang mutaki, kau datang dalam satu
karavan, sentuhanmu air dingin yang lembut, indah
mengalir ke dalam sukma. Dan kalimat bicaramu
terasa seperti bayang-bayang malaikat berdiri di-
belakang,

Kau sendiri telah melihat tajalli-Nya.
Bathera telah di pelabuhan
Nahkoda telah siap
kita belum terlambat.

12 April 2014
*ITBM Jun 2015

Senyum Seorang Da'i*(ITBM)

Seperti heretan langkahmu
makin perlahan dan kendur
tambahan tongkat dan degup
jantung masih mengimbangi
gerakmu siang dan malam.

Sukmamu tetap subur
seperti taman mutaki
selalu hijau dan wangi.

Kasih-sayangmu adalah
lambang keberanianmu
tak berhenti di sempadan
dan doa tangis itu telah sempurna.

Masihku ingat
musim kering dan jerebu
keretapi meluncur ke dalam terowong
dan desa-desa lemas dalam
gelombang mimpi
dan harapan yang menjauh.

Di dataran tinggi ini,
kami menangis
sebagai bangsa yang kalah
kerana samawi menurunkan hujan
dengan benih-benih yang baik.

Kegelapan menyentuh bola mata
bagai dinding didirikan empat penjuru
tertutup rapat menghalang udara
jabat tangan mesra dari seorang Da'i.

Kau kembali masuk ke dalam kamarmu
melengkapi yang terlupa dan tertinggal
esok mendekat dan kau merelakan
kepulangan ini.

Yang terucap itu janji dan
pada langit sukma yang menitis
dari perdunya
Kesabaran itu, kemenangan
hujan semi membawa khabar baik.

12 April 2014

*ITBM Jun 2015










Thursday 10 April 2014

Kehilangan MH 370, Tiap Sukma Gundah, Mencari Sekelip Cahaya*(APSPMH370)

Bayangkan ketika pintu tidurmu diketuk
ketika bangun, kau hilang ingatan dan bual.

Kau ingin bertanya atau mengucap salam
tapi, suaramu tak terucapkan, gemanya tak sampai.

Alammu sepi dan semua inderamu tak berkerja
kau paksakan juga seperti menyedut kepul udara terakhir.

Suara yang merontah dan tubuh bergerak memberi isyarat
semuanya kembali kepada sebelumnya.

Aku kehilangan langit dan tanah, seakan tak ada
jalan pulang seperti lingkaran benang yang kusut.

Malam panjang  lautan gundah
tiap pintu bagai tertutup rapat serentak.

Ke mana saja kutoleh ketakutan mengembangkan
kepaknya dan tiap sukma mencari cahaya harapan.

Doa-doa mencair dilidah orang-orang merendah
dalam panik dan kegelapan pekat aku panggil nama-Mu.

Firasat dan doa-doa para musafir dan mereka yang ingat
kepadamu, sedikit demi sedikit langit samawi tersingkap.

Malam yang panjang itu, Kekasihmu menjawab
doa-doa musafir dan pintu Tajalli-Mu terbuka.

Ini adalah ujian, di saat-saat begini
tiap sukma mendambakan kehadiran-Mu.

*Disiarkan dalam antologi Segugus Pasrah Buatmu MH370, book digital, Kuala Lumpur, 2014





Orang Tak Berbangsa* (Suasana)

Sedang minum kopi di pinggir kota
datang seorang ibu tua
senyum dan sopan.

Sebelum ini tak pernah berjumpa
apa lagi dalam mimpi purnama.

Ia memberi salam dan pergi
aku membalas dan ingin
berbual
tapi, dalam keramaian itu ia
hilang.

Suara itu menyampaikan
salam kedamaian
dan lebih dari itu
sebuah doa tulus mengalir
dari sukma ke bola mata.

Kini kau sedang berdiri
di tengah traffik
orang-orang berduyun-duyun
tanpa wajah mencari suaka.

Ke mana pun kau melarat
di belahan dan pelosok bumi
sesat di tanah asing atau
kepulauan atol
kau tak akan hanyut dan tenggelam
ke dasar lautan atau mati lemas
sebagai orang tak berbangsa.

Harimu penuh ketakutan
kau kini sebuah nombor
penungguan tak berakhir
Mimpi-mimpimu telah kau bina
atas keyakinan.

Di tanah peduli ini
kau berhenti berteduh
esok, kau memakai kasut
lalu bercerita untuk menyakinkan

Kau tak pasti di tanah pelangi
kau akan berehat
di atas lidah gelombang laut
di pulau atol tak kesampaian
di pelabuhan sepi yang ditinggalkan
di Pusat Penahanan pengungsi tak berbumbung.

Kepadamu,
ceritamu tak akan berhenti di sini
dan kau terus bercerita
sekalipun mereka tak ingin mendengar
Kekasihmu telah menutup telinga
kusambut salammu kerana
kita saudara sejagat.

10 April 2014









Wednesday 9 April 2014

Gelombang Malam*(ITBM)

Malam tadi tidurmu
bagai kapal dipukul gelombang
dadamu bagai
ikan di laut keruh cuba
menyedut udara.

Kau menangis
bagai menerja gunung berapi
memuntahkan laharnya.

Kasih-sayang
adalah kalimat indah
bila dilakarkan
oleh seorang kekasih
tapi, bila diucapkan
tanpa rasa dan harapan
igauan mimpi buruk
kata-katamu
adalah kalajenking
yang berdendam.

10 April 2014

*ITBM Jun 2015

Tuesday 8 April 2014

Mari Kita Melangkah*(Wadah DBPCS)

Mari, kita melangkah
tenang-tenang melihat bagai
anak riang bermain di dunianya sendiri.

Kau tak perlu menyapa
sekalipun salam tak terucap
kau telah sampaikan dari sekilas
pandangan matamu.
Itu sudah cukup.

Ketika kau bertanya
pengakuan yang tulus
sukma dan tubuh ini bergetar
seperti terpanah kalimat suci
menusuk tepat pada sasarannya.

Kau yang ditinggalkan
memang aku tak mampu
menafsirkan di antara seribu malam mendatang
yang jelas samasekali kau tak pernah
dilupakan.

Aku telah lama merantau, katamu
sekarang pun aku seorang musafir
di celah-celah waktu
di ufuk senja
aku melangkah sempadan
dan aku tak akan bermimpi
mengakhirinya sebagai sebuah sandiwara tragik
atau dirindukan sebagai tukang pelawak drama komedi.

Kalau kau tak mendengar
aku dalam beberapa musim mendatang
pada langit selalu ada kedamaian
pada anak-anak huruf tersembunyi ketenangan
dan memang mereka adalah teman-teman
tak akan menyakiti sukma apa lagi
menyimpan dendam gunung berapi.

Aku melihat wajahmu
tetap manis bagai matari pagi
sukmamu
penawar,
perjuangan dan pengorbanan
kerinduan itu adalah
penyempurnaan iman.

9 April 2014

*Tersiar Di Majalah Wadah DBP KK, 2014







Letusan Di Pinggir Mata*(ITBM)

Kau tersiksa dalam pergelutan
kulit-kulitmu luka-luka
waktu tetap mengalir.

Sukmamu merayau
suaramu bagai tersumbat
hilang dalam jerebu perang
jembatan sukmamu
telah runtuh
airmu telah tercemar
sampai ke anak tangga.

Langit pendamai
di kepulauan sepi
kepadamu,
amarah meluap itu.
tak akan ada penyelesaian
meredahkan api
dari kanca peperangan.

9 April 2014
*ITBM Jun 2015

Monday 7 April 2014

Tanah Pelangi*(ITBM)

Mereka
kini mengintai langitmu
yang tak seberapa pun
bisa menjadi sasaran.

Langit yang ingin didera
masih lembut dan lidahnya masih
melafazkan
bahasa sopan dan memikat
sukma.

Aku tak akan membalasmu
sedang malam tetap tenang
sekalipun sebentar nanti
beritamu akan gempar.

Mendengarmu
dan melihat letusan di matamu
di tanah pelangi ini
suara ini harus didengarkan.

8 April 2014
*ITBM Jun 2015