Friday 30 May 2014

Nyanyi Anak Sulu (Suasana)

Dapatkah aku pinjam masa silam
sebagai pacutan mencipta
purnama di langit malam.
seperti peti panodora
rahsia di sebaliknya.

Kalau kau
memilih senjata kebohongan
sebagai fakta sejarah
aku tak di dalam daftarmu.

Kau telah melihat negeri kesiangan
langitmu tersayat seribu
masa silam menjelma
dalam mimpi ngerimu.

Kutatap matamu pada suatu siang
penuh penyesalan kemarahan gunung berapi
malam panjang celaka telah menggeruti
rahsia bangsamu
menyedut darah manis menjadi cuka.

Mengapa kau harus malu pada legasi
melihat sejarah bangsa didera
adalah penderhakaan ribuan tahun.

Dalam kepekatan malam majnun
mahkotamu yang tercampak
tiap bangsa ada petualang
hanya sepotong daging
mereka berbunuhan.

Kau tak pernah mewarisi sebidang tanah
darah merah tak lain isyarat pengorbanan
armada kekuatan mereka
terpukul mundur ke dalam laut.

Laut Sulu, dengarkanlah gurindammu
irama perang sabil.
Lihatlah dastar dipakai
gerak-gerak kaki dan tangan menggalai.

Pukulkan gong mainkan kulintangan
melihatmu anak Sulu, gerak pahlawan
wajahmu setenang langit dan sukmamu
sedamai lautan di waktu malam.

Keluarlah dari persembunyianmu
katombe-katombe buatanmu sendiri
kumpulkan cahayamu
purnama yang tak akan pudar
sampai kiamat mendatang.

Sinar matamu pemegang amanat
kata-katamu seperti udara Kundasang
yang menawan gunungmu
nafasmu sampai ke samawi
sukmamu adalah tajalli
dan tawajuh pada-Mu.

*10 puisi dikirimkan paa 27 April 2015

Surat Cinta Kepada Saudara Rohaniku*(Ketuhanan)

Bagai mengumpul bintang dan mengalihnya ke langitmu
dan meletakkan purnama yang sedang mengembang
sukmamu bertaut satu sama lain kerana cintamu telah
membakar tapi tak mencederakan kedamaian rohanimu
pertemuan yang berbarkat dan persaudaraan sejagat.

Kau bagaikan lebah tak pernah lelah demi kebaikan
dan perlindungan ratumu di musim-musim bunga dan
dingin.

Tiap sukma punya taman-taman sendiri dan dijagai
dengan cinta dan pengorbanan dan kau tak perlu
dunia mententeramkanmu kerana cinta dan
tawajudmu pada-Nya. Yang lain itu debu berterbaran.

Kau menyantap hidangan demi hidangan dan tak
pernah puas. Kerana kau kunyah adalah dari dapur
syafaat yang menghilangkan lapar dan hausmu di
musim kemarau sedang di lembah ini ada dataran hijau.

Ya Rasulullah, sukmaku lebur dan urat-urat serambiku
menangis tak tertahan, kalau aku adalah tangan
yang memampan wajah suci dari panah-panah dan batu-batu
yang dilemparkan. Dapatkah aku bertahan seperti gunung?

Yang kau harapan kesejahteraan kekasih-Mu
apakah ia disakiti, didera dan dizalimi sedang aku tak berbuat
kalau ada amanatku menunggu maut
sampaikan amanat ini yang lain tak akan aku pedulikan
selain wujud agung dan suci, Rasulullah SAW .

Sukmamu seperti seekor burung dan suaramu kasih sayang
usah menunggu langit telah terbentang penuh
tanah daratan ini tanpa sempadan buatmu dan
kuda semberani menerja rimba jati ke Negeri Matari Barat.
Ayuh! apa lagi kau tunggu, wahai rohaniku
kita telah lama berbicara tentang cinta dan kasih-sayang.

Di bawah lipatan gunung dan pulau mutiara
di lautan teduh telah lama menunggu kedatanganmu
singgahlah di sini kami ingin mendengar berita
samawi dan ingin melihat sendiri kenampakkan-Nya.
Ya Rasulullah, jalan kemenangan itu telah jelas
beritanya telah kau sabdakan, dan samawi membenarkan


*ITBM Jun 2015



Thursday 29 May 2014

Panggilanmu terjawab*(ITBM)


Noda-noda kegelapan
seperti air bertakong kepayahan
mencari jalan keluar.
Malam bagaikan
hamparan kegelapan pekat
seperti ikan dalam lubuk lumpur
langitmu mendung hujan tak turun
bertukar kabus jerebu.

Ketika kau
di pembaringan tak bermaya
kau panggil nama-Nya
jika doamu termakbul
langitmu berubah wajah.
Sekilas cahaya
nur hayat yang melindungi
kau tak akan pernah dikalahkan.
Jalan keselamatan
adalah kemenangan rohani.

Kebenaran datang dari samawi
suara kudus telah turun
menamatkan malam gerun panjang
perutusan samawi
tak akan berhenti memanggilmu.

*ITBM Jun 2015

Wednesday 28 May 2014

Kedamaian Sukmamu Kau temui Kembali (Ketuhanan)

Kau tersiksa dan mengigau dalam tidur gelisah
seribu tahun jiwamu masih belum tak tenteram
malammu panjang dan siangmu mendung tebal
seperti kau orang gila sepanjang jalan pulang.

Kedamaian sukmamu sirna di permukaan malam
kau telah digoda dengan pertanyaan tak berjawab
tiada ketenangan di bumi dan langitmu selama ini
perjuanganmu menyorokmu jauh ke dalam gelap.

Mata rohanimu telah buta dalam pengkiraan masa
dalam gelap kau masih memburu bayangnya sendiri
sukmamu diam dalam kekalahan .

Kau meraung ke langit
dalam doa tahajud
Penjajah bangsa telah pulang
kini daratan tanah merdeka
gema suaramu melaung panjang
terdera dan terpelosok .

rindu pada kedamaian sukma
melihat jiran yang terluka
mengerang dalam sedang
orang lain mempersendanya.

Yang dulu laut rohani mengalir dan darinya kau makan
ikan yang lazat, kini menjadi padang pasir yang kering
dulu ada desa di kaki gunung, kehijauan yang menawan
tapi, kini memori berdarah dari ingatan zaman berzaman.

Gerhana di langit sukmaku telah berlalu dengan datangnya
hujan semi bulan purnama aku menemukan kebenaran ini
menyingkap rimba ketololan dan melangkahi sempadan
sampai ke kepulauan sepi, tanah rawan dan benua jauh.

Aku hirup udara dan memegang tali samawi dan melihat
Ummatun Wahidah di tangan Kekasih-Mu dan sukma
Khalifatun Rasidun adalah seperti bintang-bintang di langit
sahabat, rahmat dan kurnia yang turun adalah manifestasimu.

Manifestasimu  adalah yang abadi dan sampai akhir zaman
mengangkat martabat ummah dari tangan-tangan yang kasar
cuba merosakkan benih dan panen ini, kau tak akan berjaya
kerana tangan Dia sendiri telah menjaga dan memeliharanya.

Kedamaian sukmamu telah ditemui bukan dari orang zalim
militan atau bukan orang-orang dunia bertopeng agama
Muhammad, pendiri syariat sempurna
syafaatmu mengalir sampai akhir zaman.

Zaman kekerasan telah berlalu, burung-burung merpati
terbang damai ke negeri jauh, keindahanmu bukan pula
menakluki tanah sempadan lalu meluaskan tak berhenti
kemenanganmu kerana cinta pada Rasul hidup menawan.

Manisku, tenang, tenanglah tidurmu malam ini
kau khalifah yang dilantik oleh Allah Azzali
sukmamu bersih dari kejahatan dan kebohongan
pesan kedamaian ini harus sampai kepadamu.

Aku mulai menyudahi dengan bersujud lama
salam telah bersambut dan kemenangan rohani
kejuitanmu di langit malam saksi pada siang ini
bagaimana kau menidak kebenaran telah sampai?







Laut Sulu Tenang (Suasana)

Laut Sulu, kau mengasingkan diri
langitmu telah berhenti bercerita
kepulauan bagaikan ditinggalkan
gelombangmu melemah seketika
tapi firasatmu sampai di Tanah Sukma.

Lama aku tak mendengar lagumu
kerana lirik yang kudengar telah
kehilangan makna dan gemanya
mati dalam badai taufan semalam
anak-anakmu telah berpergian dan
tak kembali sejak kembang purnama.

Perjalanan zaman telah bertukar rentak
suara-suara keras dan mendatar telah
kehilangan dinding dan landasan rata
ingin menakluki sukmamu malam gerhana
ribut badai telah meredah di laut sempadan.

Usah kau lupakan isi pada pengorbanan
bukan bersandarkan pada kulit luaran
tapi pada isi akar tunjang yang menjunam
dalam ke pusara bumi leluhur bangsa beradab
sekalipun mengambil masa ribuan tahun.
Biarkan kasih-sayang ini hidup dalam sukma
dan menjadi fitratmu ini adalah tekad
yang menggerakan tiap nadi yang berdenyut.

Tiap musuhmu melihat seekor singa dengan curiga
walaupun di tangan ini tak ada senjata membunuh
hanya suara kedamaian yang meniup bara apimu
yang akhirnya menjadi unggun api menyala.

Betapa aku merasa bulanmu bagai tersayat luka
melihatmu terdampar dan kehilangan wajahmu
di daratan ilusi tanpa ada tangan menghulur kasih
apa lagi meniup udara ke dalam rongga nafasmu.

Matarimu mengirim pelangi di tanah meranti merah
cahayanya telah melimpah-ruah sampai ke pelosok
membongkar rimba tahyul dan daerah-daerah rawan
di tanah peribumi ini melangkahlah dengan terhormat
tak ada lagi yang ditinggalkan apalagi diketepikan.

Aduhai, ketenanganmu ini adalah kerinduan abadi
saksi zaman dan pembawa obor kedamaian dan
keselamatan dan cinta mengalir dari sukmamu
akan merubah langit dan bumi  dalam wajah baru.

Kau dan aku tak akan berhenti di tengah jalan ini
Tajalli-Mu  telah menguatkan keyakinan dan iman
kedamaian ini bukan suatu mimpi pura-pura
tapi adalah penyempurnaan kebenaran yang tulus.

Nyanyian Malam Menjelang Malam-Malam Ramadan Al Mubarak

Aku menitipkan doa selamat malam sebelum terlelap
biar getaran sukma ini bergema sampai ke benuamu
Ketika aku terlentang tak bermaya kau adalah dataran
Pulau tempatku berlindung dan membina kekuatan.

Kau tetap tak berubah dan langitmu sentiasa merendah
lautanmu senantiasa teduh dan bintang-bintang di langit malam
inspirasi yang tak pernah kering dan kedamaianmu
membawa pulang Sang Nahkoda ke Pelabuhan.

Katamu cintamu telah terbang ke langit samawi
ia telah menemukan rahsia kebenaran sebuah kehidupan
Kalau begitu tak salah jika aku menerangkan dengan
kalimat-kalimat panjang kerana di situ ada kemanisan abadi.

Kupeluk seribu malam setelah itu seribu malam
sukmaku tak akan pernah puas  kerana cinta telah membumi
Dan kau telah meninggalkan gua kegilaan itu selamanya
kerana di luar ini ada matari membawa musim semi.

Kau telah puas mencari cinta dan keselamatan
yang kau temui hanya bayang-bayang dunia yang rapuh
dan puing-puing mulai rebah dan jatuh bertaburan
bagaimana sukmamu bisa tenteram ketika dirimu kehilangan.

Di musim orang ramai menemui jalan mati
langit samawi masih terus menitiskan air manis
penghilang dahaga musafir di jalan pulang
menemukan ikatan persaudaraan rohani dan Utusan Tuhan.

Malam akan terus panjang dan gerhana dalam sukmamu
Ia pemegang opor kehidupan rohani, hidup dan mati
pemelihara dan perlindung sampai akhir zaman
akan tetap  menjagaimu pada kesaksian malam dan siang.


Menaksirkan Laut Sukma di Malam-Malam Ramadan Al Mubarak


di Tanah Sejarah aku memandang lautmu
dan pulau-pulaumu dan suara masa silam
berdiri di sini dan setengah menutup mata
melihat kasyaf sebuah bangsa terkurung
dalam mimpi bagaikan malam yang turun
dan berlabuh di situ ratusan tahun .

Penderhaka bangsa masih mengharapkan
malam akan terus supaya rencana jahat itu
menetas dan badai gelombang sekali lagi
menerjang laut datang sebagai ribut di malam
penentuan dan kekalahan yang diramalkan.

Aku masih dapat membaca dan ikut ketawa
kelakar seorang ayah di akhir-akhir mimpinya
Ketika aku meninggalkanmu di tepi bangunan
dan memanandangmu sekilas, kau memang
seorang wira berjuang sampai otot-ototmu haus.

Kau tak pernah menyebutkan sejarah bangsamu
kita bertemu berpisah seperti pintu dibuka
dan ditutup dan kita seperti memahami sejarah
akan mengambil dan mencari warisnya yang
hilang di malam gerhana.

Waktu telah meninggalkan bekas dan karat
pada piung-piung sukma. Ketika kau menjabat
tangan dan berlalu pergi, tak pernah kau
mengakali masa depan itu adalah satu perjuangan
dan tradisi ini tak akan pernah dikalahkan
Dua zaman kita berbeda telah disatukan
Bukankah kemenangan rohani ini dijanjikan
di akhir zaman?

Ketenteraman sukmamu di malam purnama penuh
telah meninggalkan jauh gerhana-gerhana silam
yang pernah menjadi langit hitam kelammu
Kini berita syafaat ini telah menyatukan dua musuh
menjadi teman yang akrab.

Ya Rabbi, aku menunggu-Mu  di malam-malam
Ramadan Al Mubarak, menatap wajah langit
kerinduan melahirkan doa tulus seorang mutaki.











Monday 26 May 2014

Pintu Meraih-Nya Tak Pernah Tertutup (Ketuhanan)(Ramadan)

Benarkah kau tak mengenal bahasa rindu apa lagi bahasa cinta
ketika aku berbual kepadamu kau diam, matamu tertidur
bulanmu seperti komet yang hanggus di dalam sukma
dalam lamunan aku bermimpi puluhan pulau-pulau di lautmu.

Kau hanyut dalam gelombang membawamu ke tengah lautan
dalam badai tofan aku menyiapkan perahu padamu
angin kencang yang menghempas tekad dan harapanmu
tak akan bertahan lama kerana esok lautmu tenang kembali.

Bacalah ke dalam mata dan sukmaku, pasti kau merasakan
perjuangan ini bukan untuk satu hari dan tak ada kemenangan
kepada pembohong yang bersumpah-sumpah tentang kebenarannya
kau sendiri melihat mereka seperti ikan-ikan mati terdampar di pantai.

Kau melihat tak ada kekurangan pun di langit masih ada purnama
matari masih datang pada esok dan menerangi alam semesta
jaminan apa yang cuba kau bisikan ke telinga dan sukmaku
sedang malam-malamku telah lama menghilang di galaksi dukalara.

Aduhai rohaniku, usah kau melihat langit malam dan merasa binggung
suara-suara yang datang menjelang Ramadan Al Mubarak
mengingatkanmu, pintu meraih-Nya tak pernah tertutup
dan aku akan terus memanggilmu tanpa bosan.

Pulau Balambangan (Lanskap)(Ramadan)

Aku ingin menyentuhmu
tanah Pulau Balambangan
dalam sukmaku
kau tetap dekat sekalipun
kita telah dipisahkan
dengan laut dan mimpi.

Khabar ini telah datang terlewat
lebih dari 100 tahun
maafkan kalau aku terlambat
bukan aku segajakan
semua ini berlaku tanpa sedar
rupanya kita telah jauh di alaf 21.

Berdiri di Simpang Mengayau
melihat purnama penuh
langit mulai bertukar wajah
Ramadan Al Mubarak
mendekati pintu sukma
Di Tanah  Kerinduan dan
di Pulau Balambangan
kita adalah sepasangan kekasih
melafazkan doa kerana kedatanganmu
membebaskan siang dan malammu
dari belenggu kejahatan,

Aku menyiapkan sebuah harapan
di langit Ramadan Al Mubarak.
gunungmu tak berubah warna
masih gagah dan menawan.
Di bulan para malaikat berkeliaran
tiap sukma ingin meraihi
malam Lailatul Qadr.

Pulau Balambangan, kalau bukan sekarang
esok aku mendatangi, mengenapi sebuah cinta
kata-kataku terus terang
kerana syafaat cinta kita
tak akan merelakan aku atau kau
mengundur langkah
di tangan ini aku akan menjabat tanganmu
dan tak memaksakanmu

Ketika walima berita tentang
pernikahan kebenaran ini tak akan
mengejutkanmu, Pulau Balambangan
Kasih Sayang ini tanpa ada pemisah
apa lagi dendam yang direncanakan
di malam derhaka.




Thursday 22 May 2014

Di Persimpangan Jalan Maut Mengembangkan Sayapnya (Ketuhanan)

Malam itu Kapal Terbang MH370 seperti kehilangan kompas
berkejar ke destinasi yang tak mungkin sampai dan tergapai
keindahan bintang-bintang di langit tenang samasekali
tak menyentuh sukma penumpang, anak kapal dan juruterbang.

Penumpang-penumpang ini bukanlah sekawan burung
yang terbang berhijrah dari langit selatan ke benua utara
sudah lama kapal ini terapong di udara langit malam
kerinduan pada tanah berpijak mulai terasa dan
kelelahan musafir tak terubat kerana mata yang binggung
tak berdaya untuk memburu mimpi Kejora.

Sesekali kapal terhempas atau terlambung ke atas
penumpang panik, suasana cemas dan tersiksa sukmanya.
Tiap penumpang mencari kekuatan dalam keadaan tertekan
Tiada yang rahsia lagi semuanya jelas mereka menuju
ke jalan tak ada pulang, ataupun mengucapkan
Selamat Tinggal dan Salam.

Di saat-saat cemas begini, mereka ingin hanya satu
kalau ada perundingan atau jual beli, mereka akan menyerah
apa saja sekalipun apa yang mereka cintai kerana
hidup dan mati, tentu mereka memilih hidup
supaya dapat dipanjangkan lagi tak kira apa cara
Tapi malam ini, malam tak ada jual beli apa lagi berunding
Di persimpangan jalan, maut telah mengembangkan sayapnya.

Ada yang berdoa sangat tekun dan mata mereka tak kendur
dalam kecemasan masing-masing berdoa dengan caranya sendiri
mereka tau, ini adalah jalan sehala dan firasat mereka pun benar
malam ini, halaman sejarah tercatat kehilangan MH370
bukan sandiwara atau permainan, gelombang lautan
membuka rahangnya di malam gelap Lautan Hindi.

Di dalam mimpimu kau melihat wajah-wajah bersih
berdoa satu sama lain dalam kata dan kalimat bahasa
mereka sendiri dalam korus dan irama yang harmoni
Ketika mereka mengucapkan doa-doa itu serentak
dan mengalir dari lidah yang tulus dan dari sukma musafir.



Maut Dan Doa (Ketuhanan)

Kau menanyakan diri apa yang aku fikirkan seminit
atau kurang dari pengiraanku yang sebenar
apakah ada masa lagi buat aku menghirup
udara biar dadaku kembang dan nafasku lancar
dan denyut jantungku bergerak seperti biasa.

Saat-saat begitu mungkin aku dalam keadaan
binggung meredahkan degup jantung yang berlari
seperti melepaskan diri dari perangkap maut
menyerah tanpa perlawanan sampai terakhir.
Melihat yang lain, tangan gigil, suaranya tertahan
di batang leher.

Aku anak seorang muslim, ayahku muslim dan
dato nenek moyangku juga muslim. Aku yakin
Laillah ha illallah Muhammad  Rasulullah. Jika
yang datang sebentar nanti adalah Malaikul Maut,
Aku telah siap. Datanglah dengan tangan terbuka
aku akan memelukmu dengan zikir kepulanganku.

Singkapkan tabir langit, aku datang kepada-Mu
tanpa ada sedikit pun ketakutan dan terhukum
Ketika waktu itu datang aku adalah musafir yang
telah menyempurnakan perjalanan ini  sampai
ke garis terakhir  tak akan berubah Engkaulah
Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad itu,
Kekasih-Mu, purnama penuh dan syafaat
sampai akhir zaman.

Tiada keraguan dan bimbang ketika aku
penumpang terakhir memasuki Kapal terbang MH370
aku melihat kasyaf, akan meninggalkan Tanah Air
dan tak akan kembali, aku seperti mencium bau
bunga Kemboja, Melati dan Kenanga.
Di depan, seakan berjalan dalam terowong gelap
di penghabisannya pula cahaya terang-benderang.

Ya Rabbi, aku manusia lemah. Di saat dharurat begini
berikan aku kekuatan untuk berdoa supaya setiap
pemilihan kata kulafazkan dari sukma yang tulus.
Ketika air mata menitis biarlah datangnya kesedaran.
Kepada kalian yang kutinggalkan, ujian di malam
gelap ini akan mendewasakanmu dalam berdoa.

Wednesday 21 May 2014

Rindu Dan Menunggu Ramadan Al Mubarak 2014

Aku mengintip pada siang dan putaran malam
melihat bulan di bumbung langit  dan lampias cahayanya
tiap malam tiba mendekatkan diriku kepadamu
Ramadan Al Mubarak.

Kerinduan ini  ternyata melangkah jauh
ke dalam sukma.
aku mencium bau udara memang kau
semakin dekat.
Alam maya pun bergerak ke arahmu.

Aku telah siap sebagai khadim di Tanah harapan.
Bagaimana aku dapat melupakan
ketika kau datang aku berada jauh
di tengah samudera atau di Tanah Asing
berkhemah sendirian di hujung desa
di Tanah Pesisir atau di Tanah Medan.

Ketika hujan turun menyentuh tendamu
dan angin laut mengheret dingin malam
kau hanya dapat berkata
'Ya Rabbi, Kuatkanlah tekad sukmaku,
jangan kerana kedinginan yang tak tertahan ini
aku menyerah.'

Suatu hari, langit malam bagai membuka
panggungnya menghibur musafir
aku merenung hamparan bintang
di langit Ramadan di Tanah Kanak.

Seperti aku mendengar suara-suara Kanak
dari Tanah Bukit dan desa-desa Hienghene
bergema di lembah Kanak,
nyanyi kemerdekaan makin surut dan sunyi.

Suatu malam, masih di bulan Ramadan
Tribute de Ware masih berdekur
aku keluar tenda
Gereja Katholik, bangunan tua
merelakan aku, rumah paderi yang
kosong dan tanah dataran
di situ, aku memanggil nama-Mu.

Ramadan Al Mubarak, dalam keadaan apa
aku selalu siap sekalipun aku di kepulauan
atau dataran Tanah Merah Aborigine.

Kini aku datang padamu, Ramadan Al Mubarak
di bumi Pribumi yang kukenal, lautnya yang tenang
lembah gunung mengirimkan firasat
di Tanah Gembur airmu  mengalir ke dalam sukma.











Tuesday 20 May 2014

Suara itu Terbang Ke Orbit Baru dan Galaksi Tanpa Sempadan*(ITBM)

Tiada lagu dapat kunyanyikan
membuatkanmu tenteram
Tiada kata dapat kunyatakan
membuatmu terhibur
Aku hanya seorang khadim.

Siang yang terhampar kau melihat
sebuah mimpi berputar di mata hitammu
Lalu, mengapa bertelingkah
menyingkap rahsia kelemahan.

Pada malam yang gemerlap
rahsia seluas kanta matamu
bercerita langit penuh mitos lagenda
pulanglah sekalipun kau harus
merangkak datang pada kekasih
di gunung salji.

Sudah berapa dekad dalam hidupmu
kau harus berdiam diri merelakan
panah-panah yang mengelirukan
segaja mereka melepaskan memang
mencederakanmu di bawah langit.

Pulanglah usah menyisih kerana
kebenaran kau tunggu itu tak akan
menunggumu di persimpangan jalan
yang lain telah sampai di perhentian
menanti kepulangan yang damai.

Kau telah diperingatkan hari kemenangan
sukmamu merdeka dari malam kerudung panjang
kini suara-suara itu terbang ke seluruh rantau
orbit baru dan galaksi tanpa sempadan.

*ITBM Jun 2015




.


Tanpamu, Tak Akan Ada Syafaat*(ITBM)

Lupakah kau jalan hala ke selatan
manismu telah lama pergi
kau pun tak akan bertanya
Malam menghimpun dukalara
lalu melepaskanya ke cakerawala.

Mereka tak menjawab soalan
tapi menghamparmu dengan pilihan
sebenarnya dalam sukma
ada noda kegelapan tersembunyi
makin kau dekatinya ia menjauh
terpelosok di urat nadimu.

Ketika aku membalasmu
Kau bilang kau punya ukuran lain.
Tanahmu, tanah pilihan.

Aku berdoa dengan bahasa bunda
kata-kata sederhana dari lidah tulus
datang dari sukma yang pasrah.

Wahai Kekasih
Aku datang kepadamu.

Meniru hidup dalam kata-katamu
Ia mengajarmu mendaki samawi
tanpamu tak akan ada syafaat
seperti komet terbakar hanggus.


*ITBM Jun 2015






Monday 19 May 2014

Anak Yang Dipinggirkan (Malaysia)

Siapakah anak yang duduk di penjuru itu
diam dan duduk sendiri?

Kau tetap anak seorang ibu dan ayah
meskipun tanpa alamat dan jalan berlumpur

Mengapa tiada siapa yang ambil tahu?
menurutmu tak menguntungkan biarkan
jadi semak dan hutan payah di belakang

Di waktu malam anak ini menghitung
bintang. Bila tanya apa yang kau buat
di hujung jembatan. Jawabnya, menghisab
bintang dan mengintai bulan purnama
terpelosok entah di langit mana.

Mau buat apa, semua pintu tertutup
Jadi, anak manusia ini dibiarkan hidup sendiri
tumbuh menjadi dewasa dan tak tercatat
dan selalu tertuduh.

Kalau kau terserempak jalan ke kota
atau di pasar, ia adalah anak yang
berlari-lari menjual plastik.

Di Tanah Bumi ini, dalam igau mimpi
malam kau mendengar suara-suara itu
seperti degung korus anak yang sakit
Esok mata yang lembut ini akan berubah
anak yang dipinggirkan, tanpa dokumen
dan kasih sayang.


Kau, Bangsa Yang Tak Akan Dikalahkan (Kemerdekaan)

Kau duduk
antara pembual zaman
berkelakar tentang
bangsa-bangsamu
terpukul kalah dalam
peredaran zaman.
Mitos legenda
sejarah perjuangan
kekuatan bumi
ketahanan bangsamu
tak pernah dikalahkan.
Mengapa kau masih tidur
mereka mengadu domba
kau bukan
komet berjatuhan
tak ada tanah
untuk berpijak
Biarkan
bangsamu hidup
dalam mimpi dan impian.

*10 Puisi dikirimkan pada 27 April 2015

Tanah Leluhur* (Kemerdekaan)

Kau tak ingin kembali pada masa silam
ia semakin kecil dalam kenangan.
Berdiri di muara Sungai Kinabatangan
memandang Mamiang dan kota kelahiran.
Sandakan, wajah kotamu hilang
melepaskanmu tenang.
Di mana air sungai dan laut bertemu
sukmamu mengirimkan getaran
air lubuk turun ke muara.
Tanah leluhur
tali ini masih belum dilepaskan
kau masih memegangnya.

*10 puisi dikirimkan pada 27 April 2015




Sahabat, Dua Sukma (Ketuhanan)

Usah kau merasa heran kalau aku sering mengirim doa
dan berkirim salam menanyakan khabarmu
adakah persahabatan yang lebih tulus selain
berdoa dan memohon kesejateraanmu.

Melihat seekor kucing dan sekor burung pungguk
bermain di Tanah Debu atau menerja ke udara
seakan dunia ini telah damai dan dendam kesumat
telah tersingkir dari bumi manusia, benarkah?

Tetapi Mowgli harus pulang meninggalkan Baboo
teman-temannya dan memilih dunia manusia,
Apakah tak ada harapan buatmu dan dunia
ada peraturannya sendiri?

Antara kau dan aku ada pagar yang memisah
tapi kau bukan di sini sebagai musuh durjana
bukan pula sebagai kekasih kerana itu bisa
disalah mengertikan.

Sebenarnya kau tetap seorang sahabat
yang bisa rindu pada yang lain di Tanah Tulus
sedang Allah Azzali itu memelihara dua sukma
tak tergelincir ke lembah gaung.

Qurub Langit**(Ketuhanan)

Kau telah berusaha jatuh bangun datang kepada-Mu
dari dulu kau bimbang dalam tiap keputusan
ketika kau sampai membuat pertimbangan
bagaimana mustahil kebimbangan pada simpang siur ini
akan membawa angin kemenangan di akhir musim.

Ada yang berkata tak perlu lagi nasihat kerana semuanya
telah sempurna dan lengkap dan masing-masing memberikan
warna dan makna.

Lalu ada merasa mereka mempunyai kunci yang terporok
dalam Tanah Gurun. Sedang yang lain, monopoli langit dan
Tanah dipijak. Langit senantiasa berombak.

Setiap kali kau mendekati langit setengah sukmamu
masih terseret ke bawah kerana kecintaanmu masih
pada dunia di tanah pribumi. Akhirnya kau terluncur
lagi jauh ke bawah.

Kau mendambakan ilmu, tekad dan doa-doa tulus
Kalau memang ada pengakuan dan berpegang
pada keyakinan pasti membawamu ke langit samawi.

*Dikirimkan ke Majalah Dewan Sastera, 19 May 2014




Sunday 18 May 2014

Sidang Laut Dan Langit**(Ketuhanan)

Setelah ini kau tak akan memanggil aku ke sini
sidang laut telah bermula dalam serba kesederhanaan
perwakilan burung-burung duduk di panel
peserta-peserta duduk diam dan berusaha 
dari mula langit mereka telah tercabar dengan
letusan-letusan  mengingatkan.

Mereka semua adalah warga bumi
yang menyintai tanah dan kemakmoran
lembah gunung hijau dan laut teduh, dan 
pulau mutiara. Korus mengiyakan tepukkan
serentak.bimba

Ketakutan dan kebimbangan telah mencuat
dari sukma dan mereka tak dapat menutupinya
sekarang mereka berada di persimpangan jalan.
Satu demi satu burung-burung berhujah
akan datangnya satu musim membimbangkan itu
mereka bersahut-sahutan, melenting, memikik
dan sinis.

Minyak dan air tak akan dapat disatukan
membaca gerak-gerak dan penghuni-penghuni
di Tanah Rawan. Ternyata cuma ada kesedihan
dan ketidakadilan dan mereka terus menyatakan
dada mereka makin tersendat dan sesak.

Pisahkan keduanya kerana itu adalah terbaik
keadilan bukan jalan sepihak dan ia bukan
tempalan di layar  kehidupan yang koyak.
Kalau ada yang ingin memaksakan dan
mewarnakan unggu warnamu dan conteng arang
pada merah sukmamu, inilah bukan masa
duduk bersenandung lara.

Langit mereka penuh dengan kebimbangan
mereka melihat Rawana dan ruh-ruh
kegelapan mengabutkan langit biru.

Berdiri dengan tertib dan nyatakan suara hatimu
bukan pada angin lalu atau tidak juga menitipnya
pada badai gelombang laut. Suaramu adalah
suara yang menambat sukma.

Usah berhenti dari berkata, 'berhentilah
menggerakkan tangan dan menghukummu.'
Aku tak berhenti dan tak akan berhenti
berdoa di Tanah Persimpangan ini.

*Dikirimkan kepada Majalah Dewan Sastera 19 Mei 2014






Tak Akan Sama Dengan Yang Aku Bicarakan**(Ketuhanan)

Telah kudengar perintahmu
tapi ini soal iman tak ada jual beli
angin siang terhalau ke pinggir
bumi diam menyimpan sesal ratusan tahun
rimba jati seakan berceretu.

Mengapa kau mendera dan mendabik dadamu
sedang mereka akan terus memburumu
dengan peluru fitnah.

Kalau mereka tak ingin berganjak
dan menyembur kata-kata fitnah
aku takkan duduk di tengahmu
dan mendengarmu sampai habis.

Aku tak bermimpi sejengkal tanah
apalagi memasuki ke dalam sempadamu.

Perbualan kita semakin
tak ada titik temu
Kau pun tak ingin mendengar
Yang kau lihat tak  sama
dengan aku lihat.
Apa lagi yang aku fikirkan
Kau membantah tanpa alasan
Kau tak puas dengan perbualan
kalau tak mendera dan menidakkan
hak kita berlainan pendapat.

*Dikirimkan kepada Majalah Dewan Sastera 19 Mei 2014

Thursday 15 May 2014

Keretapi Tenom/Kota Kinabalu*(Suasana)

Tadi aku baru minum kopi Tenom
kopi pilihan pada sarapan pagi
matari masih lembut dan Tenom baru
tersedar dari mimpinya.

Aku masuk ke dalam gerabak
dan penumpang lain mulai ramai
di stesyen. Bau tembakau pribumi
tercium dalam udara pagi. Mataku
mencari-cari orang menghisap rokok kirai.

Tak lama setelah itu gerabak keretapi
mulai bertolak. Tenom mulai jauh ke belakang
Hutan rimbunan hijau masih bertahan
di Tanah Lamunan ini.

Sungai Padas mulai hinggap pada
bola mata. Tak banyak perubahan
beberapa hari ini, mengalir tenang
Dalam kelembutan itu aku dapat
merasakan sukma dan nafasmu
dari zaman silam.

Dalam ilusi dari kejauhan aku
melihat dari sebuah noktah hitam
datang ke arah keretapi. Mulanya
penumpang tak sedar kehadiran
mahkluk ini, ia menerpa maju
ke depan dengan derap langkah perwira
Penumpang terasa kehebatan
dan keperkasaannya.

Dan penumpang dan aku berteriak
Kuda Semberani, hitam berkilat dan gagah
'Hidup Kuda Semberani.'
Derap larinya memercik air Sungai Padas
aku berteriak lagi 'Kuda Semberani'
kau datang tepat pada waktunya
Aku rindu padamu. Tak jauh ke belakang
Gazelku, melompat dan menerjang
ke udara, hilang sebentar dalam cahaya
matari pagi lalu muncul lagi.

Terima kasih pada langit samawi
kau selalu memberikan aku harapan
dan keyakinan. Ketika dunia melupakan
Kau datang memberi khabar.

Dalam tenang aku kembali redah
sukmaku puas, Kuda Semberani dan Gazelku
dalam keadaan apapun selalu mendampingku
Ketika mereka mendahului dunia dan angan-angan
aku berkata dengan yakin aku telah memilih
langit samawi.

Penumpang-penumpang lain telah kembali
dari lamunan mereka membiarkan aku
dengan Kuda Semberani dan Gazelku
menerja udara dan terbang dalam dunia ilusi.

*dikirimkan 16 Mei 2014 pada Sifu Art untuk projek antologi Puisi Kereta Api.

Stesyen Keretapi Tanjung Aru* (Suasana)

Di Stesyen Keretapi Tanjung Aru
penumpang-penumpang gelisah
hanya tinggal berapa minit, lambang kekuasaan
dari sejarah silam ke dinihari, berangkat dan
tak akan menoleh.

Lenggang-lengguk, meluncur dari perlahan
pada kecepatan, semua mata memandang
seakan semuanya berdiri hormat membiarkan
keretapi ini bergerak.

Tadi di platfom, pasangan baru kahwin
melepaskan isterinya balik kampung
dengan sukmanya tersentuh ketika
perpisahan. Tanjung Aru masih berdandan.

Di musim cuti atau
pulang kampung bila ada kesempatan
keretapi adalah pilihanku. Bunyi sebelum
masuk ke terowong atau kecepatan laju
dan merendah, melewati kampung,
jembatan, sungai, stesyen kecil.

Di gerabak, dalam perjalanan
ke Beaufort, aku berbual dengan
seorang penoreh getah menghisap
kirai tembakau. Wajahnya, peribumi
yang tahan lasak.

Cerita kami penuh dengan kelakar
ibu tua dengan anak-anak tiga orang
telah lama tidur tanpa ambil tahu
penumpang yang lain. Dekurnya masih
terkawal.

Senja turun perlahan-lahan berlabuh
keindahan tanah gembur hijau ini
ketulusan pribumi selalu memberi
ruang padamu berbual tanpa menaruh
curiga.

Putatan, Lokawi, Kinarut, Kerawang
telah di belakang. Sebelum stesyen baru
aku berdiri di tepi pintu merasa udara bugar
arah selatan.

Hujan turun, hutan segar seperti baru
selesai mandi. Anak-anak kampung tadi
terjun ke dalam sungai dan melambai
tangan ketika keretapi lalu.

Stesyen Papar bersiap-siap
menunggu kedatangan Wira Pribumi
Penjual kuih dan nasi mulai sibuk
mencari pelanggan. Beberapa penjual
mulai masuk ke dalam gerabak.

Perjalanan ini mengingatkan
aku perjalanan dari New Delhi ke Amritsar,
Sydney ke Canberra, pulangnya perantau,
atau  menikmati keindahan
Tokyo ke Nikko
penuh suspen dan memori seorang musafir.

Kini Keretapi bergerak terus
melewati stesyen Bongawan, Kimanis
dan Membakut.

Dalam kantuk,
bayang-bayang desa telah berubah
wajah. Gergasi pembangunan mulai
mengorek dan membongkar tanah waris
Kebun-kebun getah tua telah rata
tumbang dibuat perabot.

Kelajuan mulai merendah
destinasi keretapi terakhir
stesyen Beaufort.
Penumpang tertidur sepanjang jalan
mulai menggeliat dan membetulkan tubuh.

Ketika turun dari Keretapi
aku sempat melirik ke Sungai Padas
matanya dan mataku bertembung
aku mengirimkan salam rindu.
Dalam diam Sungai Padas membalas
salam musafir di Tanah Peribumi.

*dikirimkan 16 Mei 2014 pada Sifu Art untuk projek antologi Puisi Kereta Api.


Penumpang Keretapi* (Suasana)

Ketika aku melompat ke dalam gerabak keretapi
matari telah condong ke barat arah ke Tanjung Aru
timbunanan kargo orang pulang kampung
Ayat-ayat perintah diucapkan berulang kali
yang menerima mengangguk dan masuk ke gerabak.

Assalamualaikum dan selamat tinggal diucapkan
adat berpisah berpeluk dan ada berdendam rasa
suasana riuh yang diselangi dengan sentuhan sukma.
Tiket telah dibeli dan sekarang musim cuti
tiap orang seperti dikejar waktu
keretapi terakhir dari Kota Kinabalu.

Dalam keriuhan dan kesesakkan penumpang
aku selalu merasa semacam kerdil dan terasing
Senja telah berlabuh dan tabir malam
telah tersingkat, bunyi keretapi maju terus
ke destinasi. Lepas satu stesyen ke stesyen
yang lain, sebahagian penumpang telah
mengalas perutnya dengan nasi dan lauk
dibeli di Pasar Filipin.

Dalam gerabak terakhir semua penumpang
bagai dibius mereka mulai tertidur
Keretapi bergerak masuk ke ambang malam
Dekur dan turun naik nafas,
tiap wajah-wajah penumpang
menyimpan rahsia dirinya sendiri.

Malam membelai penumpang keretapi
dengan mimpi-mimpi dan impian. Dan
masing-masing menafsirkan sendiri
untuk lama lamunan dan mimpinya.

Di pintu keretapi
aku berdiri cuba membaca sukma
Sungai Padas,
kerana beberapa hari ini, sukmanya gelisah.

*dikirimkan 16 Mei 2014 pada Sifu Art untuk projek antologi Puisi Kereta Api.

Stesyen Keretapi Beaufort*(Suasana)

Hujan turun mencurah-curah
penoreh getah dan pekerja ladang kelapa sawit
duduk nungkrong di rumah
menunggu bertukarnya wajah langit
Tapi, langit masih sarat
belum ada tanda-tanda matari
menampakkan seri wajahnya.

Sungai Padas seperti memendam rasa
perasaannya makin tak dapat dibendung
kemarahannya dalam satu malam
air telah sampai ke stesyen keretapi.
Bandar Pa Musa ini seperti mengigil
kebasahan sepanjang malam.

Kedai rumah papan lama telah
digenangi air warna tea susu
Anak-anak sekolah bercuti
air pun telah mengheret apa saja
ke dalam bilik darjah.

Jembatan Beaufort adalah saksi
dari generasi ke generasi
Ketika air Sungai Padas
yang tenang bertukar rentak
tanpa disedari tahun ini
banjir besar melanda Beaufort.

Stesyen Keretapi Beaufort
menyerapkan air Sungai Padas
ke dalam sukmanya. Lalu
melepaskannya mengalir ke laut.

*dikirimkan 16 Mei 2014 pada Sifu Art untuk projek antologi Pusi Kereta Api.

Balada Nenek Tua (Mama)

Terbaring di katil dalam kamar
nenek tua ini tak melihat matari
telah masuk berapa minggu
apalagi mencium bau hujan.

Ingatan ini menipis dan menjauh
bau bunga kemboja dan melatih
ketika tercium bau lauk dan
seleranya masih mengiur

Siang itu nenek tua resah gelisah
terbaring sendirian dan sakit
Anak perempuan dan cucunya
menonton tv beristirehat.

Nenek tua tak merasa diri
barang buangan tak terpakai
masa muda nenek tua tak pernah
duduk diam dalam rumah
turun ke kebun, memberi makan
kambing dan berjual sayur di pasar
bebas dari disuruh-suruh.

Suatu hari anak perempuannya
merasa kasihan pada nenek tua
kerana usia makin bertambahi
dan tinggal sendiri.
menjual tanah kampung
ke kotaraya membawa nenek tua
ke kediaman mereka di flat.

Nenek tua di kotaraya
jiwanya terganggu mengingatkan
tanah sejengkal di kampung
menyebutnya Kampung Kehidupan.
Di kotaraya ini, nenek tua
mengutip tin, botol dan kotak kertas
dan menjualnya.

Matari di sini tak sebaik kampung
di kotaraya ini dadanya tercengkam
dan selalu lemah dan lapar.
Hari bala itu turun, ketika mengangkat karung
nenek tua jatuh dan tulang pinggang patah.

Sekarang nenek tua selalu terkencing
Kalau boleh nenek tua
menghindar memakai damper.

Selalu nenek tua memikirkan ia masih kuat
boleh turun dari atas katil berdiri dan melangkah masuk
ke bilik air. Nenek tua tak fikir sekarang usianya
makin jauh dan  tubuhnya makin lemah dan tak bermaya
Nenek tua merasa ia tak dapat menahan diri
keinginannya nak ke bilik air telah lama.
Anak perempuan dan cucunya tak masuk
menjenguk. Kali ini nenek tua mengambil keputusan
bingkas berdiri dan melangkah cepat masuk
ke dalam bilik air. Semudah itu.

Dicubanya sekuat tenaga, terasa tak terangkat
nenek tua berusaha lagi, kamarnya sunyi,
hanya nenek tua saja mencuba sekali lagi
memenggang tepi katil dan cuba duduk
di tepi katil. Ketika nenek tua ingin mengapai
tempat berpegang, nenek tua terpeleset
dan jatuh di atas lantai semen. Ada ramai ketawa
suara dari peti tv di ruang tamu.
Nenek tua merasa tangan kanannya sakit.
Anak perempuan dan cucu-cucu ikut ketawa
Mereka  ketawa dalam satu chorus
tanpa tau apa yang terjadi di dalam kamar nenek tua.
Tulang pinggang patah lagi ditempat dulu.
Cicak di penjuru dinding mengedipkan mata
Petang itu nenek ditahan di hospital
menunggu tangan pahanya disemen.

Wednesday 14 May 2014

Hari Guru Dedikasi Kepadamu* (UB)(Malaysia)(Terbit)

Seorang guru langitnya luas dan tanpa sempadan
cinta dan kasih-sayangnya merata dan adil
Ia tak memikirkan dirinya demi kebaikan orang lain
dengan tekun dan dedikasi tinggi ia tuangkan ilmu
mengilap minda  dan menyingkap sukma
membawa mereka terbang ke langit cakerawala
dan galaksi yang jauh, hidup dalam mitos dan legenda
lalu kembali ke bumi nyata.

Kalau dulu suara-suaramu tak didengar
sekarang anak-anak pedalaman, pesisir pantai,
lembah pergunungan, kepulauan yang sepi
menyambut kedatanganmu dengan mengalung
dengan bunga Raya, Kenanga dan Melati
Dalam ratusan tahun, mereka tersorok dalam
lembah tahyul, ketololan dan kebodohan
kini kedatangan seorang guru merubah dengan
tekad dan kesabaran rimba kebiadaban
dan kegelapan panjang itu terserap ke dalam
cahaya modernisasi, pembangunan dan progress.

Khidmatmu jarang tak bersambut
kau melahirkan pemikir-pemikir bangsa
Sasterawan Negara, Perwira Bangsa,
Pemimpin-pemimpin rakyat, Sainstis berwibawa,
ekonomis kelas pertama,  intelelek-intelek
yang berfkir dan bersifat antarabangsa.
Kalau kami mengenangkanmu kerana
jasamu dan mengangkat martabatmu
adalah kerana kami insaf ketekunan dan
penderitaanmu tak setimpal dengan kebaikan
yang kami berikan.

Ya Rabbi, berikan kekuatan dan perlindungan
kepada guru-guru seumpama ini. Di Tanah Cahaya ini
bukan satu malah ribuan dan ratusan guru-guru
lahir di masa mendatang dengan jiwa besar
menjalani hidupnya sederhana dan tahan lasak
Mereka dapat bertahan dalam pelbagai zaman
Mereka bukan golongan yang mementingkan diri
Mereka  berkhidmat kerana Allah semata-mata
Mereka adalah guru yang disayangi dan hidup
dalam memori.

Ketika guru-guru pulang ke alam baka
kita terasa kehilangan itu kerana mereka
adalah berdiri antara masa silam dan mendatang
tungkus-lumus yang tak mengenal derita
kau melihat sendiri kemakmuran negaramu hari ini.
Mereka adalah pemimpin bangsa yang terbilang
Ingat, siapakah pejuang-pejuang dan
pengobar semangat bangsa menjelang kemerdekaan
Negara yang kita cintai, Malaysia.
Siapa? Dia adalah seorang guru. Ya, seorang guru yang
membacakan karya puisinya, menyuara isi hati
dan prihatin kepada bangsanya yang baru keluar
dari belenggu penjajah.

Aku masih ingat di kelas satu
ketika menunggu loceng berbunyi
kau bercerita tentang Sang Kancil
dengan segala kebijaksanaannya.
Tiap hari aku menunggu kehadiranmu
di depan kelas, Hingga satu ketika
aku tak melihatmu selamanya.
Kau bunga bangsa yang hidup sepanjang zaman.
Ya Rabbi, tak keterlaluan kalau aku mengingati
guru-guru seperti ini. Tak kira di dunia mana ia
berada, dunia ilmu adalah dunia tanpa sempadan
dan mereka adalah bintang-bintang di langit malam.
Doa-doa ini mengalir dari sukmaku yang tulus
dengan bahasa yang sederhana, mengenangmu, jasa Guru.
Ya Rabbi, kepada guru-guru di Tanah Perang,
di Tanah Tandus dan Kebuluran, di Tanah Miskin dan Penyakitan,
penuhilah kebutuhan dan keselamatan mereka. Amen.


*Tersiar Di Utusan Borneo 18 Mei 2014





Tuesday 13 May 2014

Surat Cinta Buatmu, Wahai Manisku**(Ketuhanan)

Aku tulis surat cinta kepadamu, wahai manisku
tak terlalu telat kerana aku masih menghirup nafas
yang menjarakkan kita, daratan benua dan lautan.
Misi cinta kita melayang dari khutub ke khutub
sampai jauh ke cakerawala dan galaksi baru.
Cinta yang ini bukan bintang yang telah mati
atau komet yang membakar dirinya.

Kalau ada kekurangan itu hanya satu
saat cinta kita bercambah menjadi rembulan
akulah khadim yang terdampar di benuamu.
Ketika musim bunga kau telah menemukan
aku adalah kekasih yang berkelana di bawah
langit malam ke lautan teduh dan pulau sepi.
Aku ingin melafazkan biar sekali padamu
Langit cinta itu hidup ribuan tahun
pada dinding grafiti di sukmamu.

Cinta kita bukan semusim, akarnya bertunjang
dari bumi sampai langit tak pernah dijuluki.
Suatu waktu jasad ini pun hancur luluh.
Tiap langkah adalah artifak fikir dan rasa
melangkar pada dinding langit cinta abadi.
Katamu, grafiti itu akan hidup dalam memori
kemudian sirna dalam hakisan waktu.

Sentuhan ini telah disaksikan samawi
cinta ini, kebenaran cahaya hidup.
Tak akan ada kuasa dapat memadamkannya.
Sekalipun musuhmu tak akan dapat membunuh
dengan fitnah di Tanah Wasangka.

Ya Rabbi, yang mengenal cinta
Adam dan melindungi cinta Ibrahim
Musa dan Muhammad Rasulullah
Api cintamu bertahan sampai akhir zaman.
Manisku, cinta ini tulus
ribuan lapisan langit membuka pintunya.
Di taman Kenanga dan Melati, harummu
melembut sukma-sukma dalam kegelapan.
Kau telah menyambut baiat cinta ini
pasrah pada ketentuan Allah,
kemenangan kepada kekasih.

*Dikirimkan kepada Dewan Sastera 19 Mei 2014

Sukmamu Di Langit Samawi*(ITBM)

Kau telah melihat rembulan
Dan ingin meletak dalam sukmamu
seribu purnama kau tak akan puas
kemilau cahaya gemilang.

Ada gerhana di daerah-daerah rawan
tanah terdera dan suaranya tersumbat
raksasa perang masih merobek-robek
kota purba itu.

Langit perkasa tak akan meredah
Mengapa kamu terus mencabar
kesabaran bumi?

Hari-hari kita merimbun fikiran
mencabar ketahanan gunung
Tajalli-Mu adalah kebenaran.
tembok-tembok kebodohan
telah runtuh, tapi kau masih
bercerita tentang cintamu
pada purnama penuh.

Sukmamu di samawi
lihatlah para da'i sibuk
di Tanah Asing.
rembulan di puncak Nabalu.
Kalau kau memang ada cinta
tiap sukma akan menyala api
lalu Nafiri meniup isyarat
kerana kemenangan itu telah dekat.

Sebuah tenda di padang pasir
kita bergegas keluar memburu
waktu sedikit
kedatangan ini harus diberitakan
tak ada kemenangan tanpa pengorbanan.

*ITBM Jun 2015

Aku Khadim Alaf 21 (Ketuhanan)

Aku khadim yang dibesarkan dalam nasihat
lidah, tangan dan sukma ini dipelihara dalam doa
Cinta pada orang tua tak pernah gerhana
siang dan malam adalah saksi kebenaran
tanpa kehadiranmu aku hilang dalam samudera
kau telah menjabat tangan ini dan membawa
aku mengenal Allah Azzali dan Rasulullah
Bagaimana aku bisa melupakanmu, penderitaanmu
tak akan ada bandingan di tanah kasih sayang ini
Kau telah mengajar aku berkata benar sekalipun
terlalu pahit dan pedih untuk dinyatakan.

Matamu selalu redup dan sukmamu sejuk
langit samawi telah menurunkan air dingin
pelepas dahaga ketika kau dalam kepayahan
dan derita yang datang tindih-menindih
sebagai khadim kau tak akan dikalahkan
langkahmu adalah derap Kuda Semberani
dan Sukmamu adalah Gazel yang lincah.
Ke mana saja kau pergi, seruan dan kasih-sayangmu
memanggil orang kepada kedamaian rohani.
Kau tak akan tertelungkup ke dalam
tempurung kelapa dan bersubahat dalam
kegelapan dan menjadi seteru-seteru derhaka.

Bahasamu tetap manis dan halus
gerak dan keputusanmu tak pernah mengelirukan
kau tetap berkata benar sekalipun kau didera
dan dizalimi kerana berjuang  demi kebenaran
Kau adalah cahaya yang dikirimkan menerangi
tanah-tanah tahyul dan ketololan.
Ketika kau berhadapan dengan musuh
kau selalu berbicara  dengan baik dan sopan.
Tapi ketika ada pihak menuduh Keesaan Tuhan
dan menabur fitnah ke atas Rasulullah
Kaulah, khadim yang paling depan menghadap
dan memulangkan segala kejahatan-kejahatan itu
kembali kepada tukang fitnah dan musuh.

Sampai akhir zaman kau tak akan melepaskan
tali Allah, kerana di situ ada keselamatan dan perlindungan
Keselamatan hanya pada Kekasih Allah, Rasulullah.
Kau tak akan berganjak undur walaupun selangkah
di kebun ini, kaulah khadim yang itaat.
yang diperintahkan kau laksanakan
Malammu tak pernah berdusta kau menjalani
Hidup dengan takwa dan tekad perjuanganmu
tak akan berubah dan patah balik
Di lembah hijau kau melihat Khula, berkuda
memberikan harapan dan kemenangan.
Semangat ini hidup dalam ribuan tahun
dalam satu barisan khadim yang siap.

Aku tak akan pernah nak memutuskan
persaudaraan sesama kita. Impian Umatan Wahidah
dan berpegang pada tali Allah adalah kunci
tak akan ada yang dapat merosakkan Taman Indah ini.
Tidakkah kau membaca dalam halaman sejarah
tangan-tangan dan kaki-kaki mereka patah
dan cakap besar yang disebar-sebarkan
dari lorong ke lorong, sebenarnya  tak membawa
makna apa-apa. Tidakkah mereka melihat
gerhana sesudah gerhana dan tanda dari langit
telah memberitakan dan tipu muslihat mereka
hanya  tenggelam dalam igau mereka di siang hari.

Akulah khadim Alaf 21 ini
Kesucian Tuhan adalah disanjung
Tidak akan ada paksaan
sekalipun ada pihak mengambil kesempatan ini.
Aku tidak akan merugikan mana pihak
pada pimpinan negara yang kita cinta,
doa-doa meluncur dari benih-benih yang bercambah
Ya Rabbi, tutupilah kekurangan kami
semoga tutur kata selalu sejuk dan
menyerap tepat ke dalam sukma.
Demi pembangunan negara kami
para khadim akan terus mengingatkan
keseimbangan kemajuan rohani dan duniawi.
Kaulah, simbol dan contoh terbaik
mati bangunmu sebuah negara adalah di tangan khadim
Khadim yang sihat, minda itaat dan fikirannya
senantiasa bergolak ke arah tanah kebaikan.




Monday 12 May 2014

Hujan Di Kotaraya* (Suasana)

Aku minum kopi
hujan telah lama turun
bumi basah dan lesu
wajah kota kehujanan
kurang mau berbual.

Orang berpayung surat khabar
berlari masuk ke dalam kedai
duduk memaki hamun
bahasanya seperti bunyi hujan lebat
mengalir deras.

Kedai kopi penuh
air longkang mulai
menenggelamkan
rumah setinggan di pinggir kota.

Bukankah ini alamat sial
orang gila itu duduk di pojokan
ketawa sendiri
melihat KL
seperti kapal sarat penumpang.

Amanah Sebuah Cinta**(DS Julai 2015)(Terbit)

Aku mendengar kisah-kisah silam, dalam diam
telah menjadi batu kapur di dalam gua ingatan
melihat malam menafsirkan sendiri rahsia
seakan biodata hidup terhampar dan kekasih
senyum malu dan tertawa sendiri.

Hari ini kau menghampar permaidani dari
artifak masa silam, berhampuran di lantai sukma.
Air langit dari mimpi Laila telah lama terserap
di bumi Majnun, namamu yang terpahat
di dinding memori kini mengabur dan berkarat.

Akhirnya kau melafazkan cintamu
yang tak kesampaian dan terkandas di pulau sepi
tiada lagi air mata atau rimbamu yang terusik
segalanya telah menjadi ombak yang bertekad
tak akan kendur menghempas daratan rindu.

Aku telah melepaskan sekawan burung
terbang di langit khatulistiwa, suara-suaranya
masih dapat kukenang tapi ketika mereka
telah melewati tanah mitos dan langit legenda
lalu penjaga langit meniupkan nafiri. Sejak itu
tiada khabar sampai pada hari ini.

Di sini aku tak sendiri langit Tajalli-Mu
adalah saksi perjuangan dan pengorbanan
seorang khadim yang pasrah pada ketentuanan
dan takdir kemenangan rohani dari sukma
seorang mutaki di taman-Mu alaf 21.

*Tersiar Di Dewan Sastera Jilid 45 Julai 2015.






Berdoa Seperti Anak Kecil**(Ketuhanan)

Alangkah telah berlalu masa silam
bayangkan menjadi anak kecil kembali
di dalam taman. Bertanya terus tak berhenti
dari satu tempat ke tempat yang lain.

Semangat anak kecil bergerak
jatuh bangun, ketawa riang dan
menangis lapar dan tidur.

Aku hanya membayangkan
ketika anak kecil menangis
dan merontah dapatkan yang
ia mahu sampai dapat baru
berhenti. Lalu aku berfikir
semangat dan tekad itu telah
ada bagaimana kalau gaya
aku berdoa pada Allah Ta'ala
tak kalah seperti anak kecil.

Tentu langit gelisah dan menjawab
panggilanku. Aku ingin
berdoa khusuk dan menangis
seperti anak kecil sampai
kedengaran di langit samawi.

*Dikirimkan Kepada Dewan Sastera 19 Mei 2014

Sunday 11 May 2014

Kebun Yang Ini Buahnya Manis*(ITBM)

Saudara bertanya
kebun di lembah hijau
lebih sekurun dan
pohon-pohon buah
di sini manis dan lebat.

Tanah gembur Allah Azzali
tamu datang pasti menyukai
di sini, tak pernah musim kemarau
bulan purnama
tanda-tanda dari samawi.

Dari tangan-Mu
benih ini tumbuh
takaran air yang cukup.
Ribuan tahun mendatang
kebun ini terus berbuah.

Tiada lagi yang datang
di gelap malam
atau di siang sunyi
tersesat di jalan pulang


*ITBM Jun 2015




Lalat Di Suatu Pagi*(Suasana)

Suatu pagi aku
dengar degung lalat
cuba menghalaunya
Ia tetap berani nekad
memasuki halaman
tak punya sempadan
sekalipun aku usir
ia tak akan mau pergi.

Seekor lalat
degungnya
degup jantungku
darah gemuruh
mencari mangsa.

Ada perubahaan pula
dalam agenda hidup
menjadi pemburu
sekaligus pembunuh
lalat, terbang kau
menjauh.




Doa Mama (Mama)

Aku terlalu perlahan
membawamu
langit purnama.

Degup sukmamu dan suara
mengerang di malam buta telah
menyerap
ke dalam mimpi.
.
Waktu  jauh
ke dalam senja.

Tapi sosok tubuh ini
menunduk
membasahi sajadah
doa-doa panjang dan
suaranya ditelan waktu.

Aku melihat
syurga dalam sukma dan mata tuamu
Mama, memandang
samawi seperti dirinya telah
melayang ke pusar langit.



Keselamatan Dan Isi Perjuangan (Ketuhanan)

Kau merenung langit biru dan pekat malam
bagaimana perjuangan ini mulai seribu daya
tiap gerak alam dan halaman sejarah telah
memberikan isyarat dan jalan terbaik
bukan dari benih kejahatan yang tumbuh
dalam kegelapan, air busuk tanah kering.

Ada pula yang berkelana ke sana ke mari
dan cuba memahami isi perjuangan tapi
ternyata kegelapan terus mengejarmu
supaya ketika kau kelelahan dan patah
kau diserap dalam mahkluk kegelapan.

Mengapa kau terlalu ke sasar mencari
tanpa menghitungkan isi perjuangan
Bukankah keselamatan itu hanya dari
Rasulullah. Tak ada keselamatan lagi
selain Kekasih Allah ini.

Sia-sia berharap pada yang tak akan
boleh memberikan perlindungan
keselamatan. Tak ada tafsir dan jalan
selain menyerap dan mengamalkan
keselamatan, sampai akhir zaman.





Tekad seorang Khadim* (Suasana)

Mereka telah pulang
di ruang ini kau sendiri
membaca kembali nota
menata sebuah harapan.

Tiap sukma melangkar esok
hawa makin panas
bau api tercium
di udara.

Kau dilahirkan untuk menawan
tanah rindu
memerahkan langitmu tak juga
memakai bahasa keras dan
kurang ajar.

Kasih sayang ini
lambang perjuang dan pengorbanan
kau tak akan pernah dikalahkan
oleh hidup.

Kerana cintamu lebih besar
Kau, khadim dan penolong
di jalan yang berliku-liku ini
kau tak akan hilang arah
Tekadmu bulat
sampai ke garis penamat.








Saturday 10 May 2014

Ibu Tua di Hari Ibu (Suasana)*


Walaupun aku tak mengubahkanmu sebuah lagu
dan bangun membuatmu sarapan pagi
menulis kad dan memposkan hadiah hari ibu
dalam sukma ada doa-doa yang kulafazkan.

Mengenangkanmu di hujung minggu
mencium dahi dan tanganmu, berbual 
dan kelakar. Lalu memilih lagu kesukaanmu
sambil menari-nari kecil di atas lantai.

Kau tak pernah bersandar pada kejayaan
anak-anak. Melihat mereka di tangga bahagia 
Memastikan anak tak pernah lapar dan mereka
telah tidur selesa di tilam embuk.

Dulu seorang gadis lalu diisterikan orang
sejak remaja meninggalkan kampung halaman
Lalu nikah di perantauan, lahir seorang putera. 
benih tumbuh dalam rahim kasih sayangmu.

Selera makanmu masih kuat dan bagus
kau tak pernah meminta tapi lebih memberi
Kata dan kalimatmu senantiasa nasihat dan sihat
sujudmu doa-doa panjang, kesejahteraan anak.

Hari itu aku melihat kau menimang cucumu
dan berkelakar dengan anak menantumu
Dalam kesungguhanmu berbual dan 
melihat ibu dan anak mertua mesra sezaman.





Friday 9 May 2014

Hari Ibu (Mama)

Aku tak mengingatmu hanya pada hari ini
mereka menulis kad, kalimat-kalimat cinta dan
kasih-sayang pada ibu mereka. Sejarah seakan
bermula baru sekurun yang lalu.

Mamaku adalah nenekmu juga
perempuan tua itu telah menzahirkan
hidupnya, sukmanya seluas cakerawala
otot-otot kaki dan tangannya seperti
Nabalu yang anggun.Mindanya firasat
yang tak luntur. Tekadnya tak dapat dikalahkan
kasih-sayangnya tanah gembur Khatulistiwa.

Kau menyayangi ibumu, rahmat Allah
turun dan senantiasa membawa barkat.
Usah berhenti di situ, sebelum ibumu
ada nenekmu, dan ia juga perlu sapaan
dan kasih-sayang merangkum langit.

Aku hanya mengingatkan seorang ibu
adalah bumi yang dilindungi dan langit
yang melepaskan dahaga musafir yang
pulang dari rantau. Kalau kau hanya
membatasi dirimu dan membuat tembuk
pemisahan, tunggulah hari mendatang
tofan pasir yang merobek-robek langitmu.

Tiap generasi berusaha tanah gemburnya
akan lebih baik dan terpelihara dari sebelumnya
antara satu tak ada pemisah, bergandingan
dan terikat satu sama lain. Generasiku dan
generasimu adalah mengangkat martabat ibu
sampai ke langit.

Memeluk Rembulan* (Cinta)


Dalam kamar ini
aku memelukmu
rembulan.
bagaikan terapong
di cakerawala dan menata
langit malamku sendiri.

Aku baring di dalam kamar tak
berjendela dan tak mengira musim.
air rindu mengalir deras
bagai empangan sukma
kini tak dapat dibendung.

Hujung senja
di tanah khatulistiwa
degup dan waktu
telah dipertemukan.


Singapura
Oktober 2013


Semangat Dan Tekad*(ITBM)

Di dalam perjuangan ini kita usah jadi orang pemilih
dalam nikmat beragama pun pintu ini terbuka luas
tanpa menunjuk siapa yang boleh dan tak boleh
jalan lurus ini adalah jalan buat semua orang
dari orang kecil sampai orang besar, berbangsa-
bangsa, lain keturunan dan warna kulit. Langit
samawi telah mengumumkan ini, dan Rasulullah
purnama penuh, pada wajahnya kasih sayang
manusia sejagat.

Suara kekasih Allah ini, alam pun menundukkan
kepalanya mendengar dan menyerapkannya sampai
ke dalam sukma. Tiap perintah dizahirkan sekalipun
meminta pengorbanan. Tangan rahmat, sentuhannya
adalah barkat sepanjang zaman.

Tiap sahabat  yang hidup di zaman Rasulullah
adalah bintang-bintang di langit. Semangat dan tekad
mereka telah merubah kejahilan ratusan tahun
menjadi bangsa bermartabat. Waktu yang mengalir,
di zamannya adalah kesaksian-kesaksian zaman
yang terbaik.

Bayangkan ketika kau terpanggil untuk merubah
langit dan bumimu, meninggalkan kejahatan-kejahatan
ke tanah kebaikan, tentu kau tak berdalih dan berdua
hati. Menyambutnya dengan ikrar dan 'lebaik'.

Buat saudaraku, kalau memang ada kecondorongan
sedikit dalam sukmammu melangkah ke arah cahaya
tentu kau tak akan sendirian, kerana Allah dan Rasul-Nya
akan bersamamu.

*ITBM Jun 2015

Bukan Mencipta Mimpi*(ITBM)

Kau cipta mimpi bila malam tiba
bukan mencipta istana dan memahkotakanmu
sebagai putera raja atau penyelemat sebuah
empayar yang runtuh.

Kau lihat jatuh bangun saudaramu merebut
mahligai khayalan akhirnya menjadi pasir
Malam punya cerita dan rahsia sendiri
siang mengujimu sejauh mana langkahmu
dapat bertahan kerikil tajam di bawah telapak
kakimu.

Berceritalah, tentang berita aku tak tau.
Tiap malam tidurmu gundah seakan
kehilangan mimpi benar

Bukankah ini nikmat penebus kebenaran.

Kegelisahanmu, tidak akan menjadikanmu
penghukum apa lagi mencipta langit ketakutan.
Kau telah diselamatkan selama ini tak akan
hilang di samudera luas kedua kalinya.

Malam penantian telah genap dan sempurna
Cintamu pada Rasulullah dalam kalbumu
Di malam Tahajud mimpimu telah genap
selamat dari seteru-seteru kegelapan.

Kau bukan mencipta fir'aun-fir'aun
di tanah kekuasaan
Lalu mengumumkan kemenangan ini
Walaupun sebenarnya kau
telah menjadi abdi ketololan dan tahyulmu.

Di sini, mereka telah hilang semangat
Kelazatannya menikmati agama
telah luntur.

Malam penungguan itu  telah sempurna.
Mimpi murni turun dalam tidurmu
Harapan itu adalah bulan
purnama hadir pada sukma tulus.

Kita tak akan pernah kalah
Air sumur ini manis sampai akhir zaman.
Dan kita tak akan tersesat di jalan pulang.

*ITBM Jun 2015






Bathera Ini Telah Disiapkan*(Ketuhanan)

Kau telah membaca langit dengan tertib
pertukaran musim dan musibah yang datang
menggulung mimpi nyenyak tengah malam
rahang bumi bergerak seakan berkata waktunya
telah tiba.

Tiap hari kita mendengar bual orang-orang
di pinggir jalan atau di majlis umum tentang
perubahan langit. Gerhana hanggus di depan mata
Purnama datang bagai komet yang meletus.

Orang masih membuat andaian di sana sini
bertengkar kepada hal-hal yang sepele
dulu di sini  adalah laut yang luas sebesar
sebuah negeri, sekarang padang pasir yang kering.

Kau pun ikut bertanya supaya tidak dicurigai
kalau ada belenggu mengikat kakimu
ayuh, putuskan, usah sampai mencengkammu
sampai puluhan malah ratusan tahun.

Kau masih asyik bermain dalam kegelapan
kerana kau memilih ini sendiri dan tak sedar
kau sebenarnya telah ratusan tahun hidup
dalam tafsir-tafsir dhaif dan lemah
Bukankah, di horizon kau telah lihat cahaya.

Aku menghulur tangan kepadamu sebagai teman
kebenaran langit samawi itu bukan
terkaan liar atau orang mengutip untung
rimbunan hijau dan di pelabuhan lepas,
bathera ini telah disiapkan oleh tangan-Nya sendiri.

*Dikirimkan kepada Dewan Sastera 19 Mei 2014




Thursday 8 May 2014

Mimpi-Mimpi Benar*(ITBM)

Kau telah pulang
dari
satu perjalanan jauh
membawa
khabar tentang kekasih
di pulau
sukma ini.
Di sini telah lama mereka
menunggu
kedatanganmu siang ke malam.

Beritamu tentang
hakikat cinta telah
dilupakan.
Di dalam sukma, laut yang
memisahkan
dataran tanah besar tidak
menyembunyikan
kebenaran
tulus.

Kita memang bersaudara
antara
kita tak ada ruang
memisahkan
bukankah mimpi dan harapanmu
adalah
bukti hadirnya kemenangan
gemilang.

Gema suaramu telah sampai
pada
pendengar yang sabar.
Tiap kata dan
kalimat telah tersingkap
maknanya
setelah ini tiada lagi
menidak kehadiranmu.

Dengarkanlah
dan
resapkan makna
tiada yang tersembunyi,
langit sukmamu
telah membenarkan
keyakinan
dan cinta tulus
ditemukan kembali.

Salam seribu
diucapkan
dan jabat tangan
warna senja meredup
dan hilang di horizon
malam mengirimkanmu
mimpi-mimpi benar.

*ITBM Jun 2015

Kuda Semberani dan Gazel *(ITBM)

Mari sayang,
Kuda Semberani
aku ingin memacumu
ke pelantaran langit dan pelosok bumi
aku rindu dataran baru, kepulauan sepi
gema gunung dan lembah hijau.

Mari Gazelku,
Kau masih lincah dengan
tendangan kakimu
menghirup udara dingin di pergunungan.

Semalam kau telah
mencium bau tanah
tanah gembur di bawah telapak kaki
melihat hutan sihat bugar dan
lautmu selalu berdenyut
gunungmu tetap bertahan.

Das tembakanmu telah kudengar
dari jauh,
hutan di sebelah bukit
dan bunyi jatuh
mangsa yang ditembak
aku tak akan membalas
melontarmu
dengan lahar gunung berapi.

Gazelku terjanganmu tetap Urdula
sukmamu Khula yang tak kendur
Kuda Semberani
di Tanah Peribumi kita pernah
mengucapkan janji.


*ITBM Jun 2015



                                                                                                                                                                                                                                                                           v






Melodi Seorang Suami*(Suasana)

Kenapa kau kelihatan seperti laut yang gelisah
sukmamu gelombang malam yang kepayahan
kau bagaikan kehilangan taktha dan kerajaan
dudukmu di kerusi hanya menghilangkan rasa kantuk.

Kerinduanmu bermula ketika kau ucapkan
selamat pergi dan kau merasakan dirimu
bagai wira yang terlantar di medan tempur
lemah menunggu datangnya pasukan penyelamat.

Kau telah melepaskannya bagai burung
yang terbang di langit kejora. Melepaskannya
menguji kewibawaan seorang suami
meninggalkannya, bagai terporok di dalam lumpur.

Di sini kau bagai mendengar petikan Sape
gema itu menusuk-nusuk sampai ke dalam mimpi
kau rindu bau harum dan nafas lembah pergunungan
perpisahan ini tak lain menguji kasih sebuah danau.


Wednesday 7 May 2014

Kebenaran Pun Terucap*(ITBM)

Kau pulang dengan mendung langit
sukmamu tertanya-tanya di mana
salahnya hingga kau merasa telah
menemui jalan mati.

Puas kau tilik langit dan lautan sukma
tapi pintu itu masih tertutup rapat
sebenarnya tak ada yang mendengar
tapi duduk seolah-olah akur denganmu.

Bahasa apa yang ingin akubualkan
supaya sukmamu tersingkap
Haruskah kunyanyikan sebuah
nazam supaya kau mendengar.

Kau telah melihat sendiri
suara itu turun bersayap
dari malam purnama penuh
lalu gemanya berdegung
dalam sukmamu.

Tiap sukma seperti kembang teratai
di waktu pagi,
matari mengirimkan khabar samawi
lalu kebenaran pun terucap
kau pun pasrah menyambutnya
dengan doa seorang musafir.
.

*ITBM Jun 2015


Inilah Yang Ingin Kukatakan*(ITBM)

Barangkali kau ingin supaya aku berkata
mohon ampun dari lidah yang tak terkawal
sampai noda-noda kejahatan yang dalam
diam bercambah di tanah kegelapan.

Tak pernah aku berselindung disebalik
cahaya bulan purnama. Atau mendawatkan
biru langit di siang yang tenang. Aku ingin
menyapamu sebagai teman dari
desa di lembah gunung.

Aku tau kau masih membaca puisi-puisi
naratif. Sesekali ayat-ayat panjang turun
bagai hujan gerimis dan dekur nafas di-
sofa mengetuk-ngetuk pintu halaman rumahmu.
Bayangkan, itu sebenarnya bukan angin lalu
atau langkah kesasar di malam hari.

Percayalah, aku menulis catatan ini
supaya kau yakin pada sebuah taman itu
dalam sedikit waktu akan tumbuh
sekuntum bunga dengan warna dan harum.
Nah, itu buatmu sebagai ingatan pada
samawi.

*ITBM Jun 2015

Perjuangan*(ITBM)

Kau belum mulai perjuangan
kalau dalam sukmamu kering
dan tak ada cinta tulus.

Cinta harus menyala
seperti matari tak akan padam
kemudian teruji dalam kegelapan
impianmu adalah cahaya
membakar tak pernah padam.

Cinta tak akan padam
akarnya tetap menjunam dan
menjalar sampai ke pusar bumi.

Peperangan telah meletus
membunuh atau terbunuh tapi
ketika kau menyatakan
samawi menyampaikan khabar suka itu

Kata-kataku kasih sayang
langit merah kejahatan telah menuba
sampai akhir zaman.

Lihatlah pada anak mata
kau tak melihat di situ ada
darah mengalir tak akan
membunuh kebenaran.
Kebenaran itu akan mendapat
perlindungan dan dipelihara oleh
tangan yang satu.

*ITBM Jun 2015

Biarkan Kau Memilih*(Suasana)

Bertanyalah semaumu musuh atau sekutu
dari remeh hingga cerita sukmamu
rahsia tentang kekasihmu
bukan teka-teki memang ia telah datang.

Kau bertanya
memang aku gelombang yang pasrah
mendorongmu ke pesisir pantai
meskipun perlahan berkelanjutan.

Kau bukan pengecut
membela diri adalah
hak-hak hidup mati
tak dapat dijual beli.

Mengapa harus ada pemisahan
lalu melebarkannya
hingga tak mungkin kembali
duduk sebagai sahabat.


Nenek Tua di Kerusi Roda (Suasana)*

Aku duduk di kerusi roda tenang
mata ini memandang ke depan
kegelisahan ini ketika aku tak melihat
atau mendengar suara anak perempuan.

Aku telah biasa mencari-carimu
sekalipun kau berdiri disampingku
siap memberikan harapan dan khidmat
ketenangan sukma berdoa dan bersyukur.

Pernah aku menangis dan marah-marah
tapi, tak terlalu lama, sekejap saja
memang aku selalu bertanya tak
lama pertanyaan itu lagi yang diulang.

Aku mengucapkan kata bismillah
saksi langit dan bumi, Kau telah
melihatkan kebenaran itu dan jarak
usia ini telah menggenapkan doa musafir.



Monday 5 May 2014

Padamu, Ma* (Mama)

Menunggu hari tua
kau sendiri telah meragukannya
mereka berkata dari atas anak tangga
sedang kau mendengar dari bawah.

Tiap kalimatmu sampai ke telinga
kau memital sebuah harapan
suara itu makin bergema keras
memperingatkanmu dalam percakapan.

Mereka telah memindahkan lampu kamar
sejak itu
pintu rumahmu tak terkunci
dan mereka tak pulang.

Kau tak melihat rembulan
dendam di hujung mata pisau
langitmu gelap
mereka telah berpaling.