Monday 13 June 2011

Permata Buat Rohaty Majzub (Dedikasi)

Intan.
hamparan sutera,
kelopak mayang di taman.

Zamrud.
Keindahan, makna,
rahsia sebuah ujian.

Delima merah.
Terpaut di dahan senja,
mekar rasa.

Nilam.
Perutusan berpulang,
merenung dan akur.

Dari-Mu
tersingkap makna
dalam kandungan waktu.

Canberra
13 Jun 2011
*AP Volume 1, 2013

Haqiqah (Ketuhanan)(Suasana)*

Bayi
manisnya
dalam buian,
kasih Halimah,
titian sejagat,
menyerahkan rembulan
di telapak tangan.

Ya Maulana,
kendi ini di tenda
masih penuh
dan manis bening.

Menggali 
ke dalam malam
rahsia kelahiran
sebutir bintang.

Aku sebuah pasu
air dan api
pada segenggam
tanah.

Canberra
13 Jun 2011

Saturday 11 June 2011

Lenggang Gelombang (Boat People)

Lenggang gelombang,
tari angin gundah
kapal tua sarat air
pantaimu berselindung.

Suara tersekat di tenggorok
lambaian kami
sebuah titik di samudera.

Kami sosok tubuh tanpa wajah
kami segenggam tanah di dalam laut.

Gelombang udara mengepul ke atas
matahari berkaca, hening
debur ombak dan deru angin menjauh
degup jantung meredup, perlahan ke dasar gelap,
rimba laut.

Kami tak melambai lagi.

Tiada requiem dan ghaib jenazah
tiada upacara
selamat datang dan kalungan bunga
atau tepuk sorak.

Kau tak perlu berkata kesat
di sini kami
tanpa pagar dan bilik kurungan.

Doa kami  lagu sejagat
kemanusiaan terhakis.
berdirilah, berdoa dalam senyap
kami, boat people,
bermakam di samudera.

Canberra
12 Jun 2011

Terima Kasih (Boat People)

Aku tak punya tenda memanggilmu bertamu
ranggi langit terbang dibawa angin
jauh  pada pucuk gelombang
membawamu ke pantai benua teduh.

Manis katamu, mententeramkan taufan laut
sejak rembulan kabur, rumah itu telah dikosongkan
orang terasing di tanah asing minta suaka
Tuhan, Engkau tetap ramah.

Kepadamu, pedal waktu itu taufik mengalir
mayang siang, kasih sayang sesama
di sini, ada juga kemanusiaan terjabar
tanpa minta datang menghidang.

Canberra
11 Jun 2011

Friday 10 June 2011

Masapol, Nenek Pulang Kampung (Mama)

Kerisik kaki nenek tua menuruni jalan bukit
langit menitis doa, tabik burung terbang melintas
di sini, wajahnya tersenyum lagi, salam pada pohon getah,
nenek pulang kampung, sabar alam menunggu.

'Assalamualaikum,' kata nenek membuka pintu
air masih dalam tempayan, minyak kerosen di penjuru
nenek pulang kampung, sekarang bukan musim buah
langit malam masih mengirim mimpi.

Air melimpah, hujan turun sebagai kekasih
kerinduan bukit dan lambaian pohon bambu
air paya bergenang sampai ke pinggang
gelegar jambatan bambu telah hanyut
tapi nenek pulang kampung, hatinya puas.

Tanah sejengkal, satu musim buah berlalu
ia terpegun cengkerama orang kota
selama itu tidurnya tak pernah mekar bunga
kini nenek pulang kampung, tumis pakis ikan kering
semalam hujan lagi, rahmat tujuh tempayan penuh.

Canberra
11 Jun 2011

Terkenang (Buat AKI)

Kekadang terpergap sedang sendiri minum teh menonton tv
ingatan hinggap bagai burung cemar di bawah pohon cemara
wajah itu indah menjelma lalu menipis hilang jadi teka-teki
mengenangkan pertemuan, mencium bau dan mentari bersimbah.

Kekadang datang dalam mimpi lalu aku termangu
memburu mimpi agar digenggam kembali, sirna
antara keramaian dan keriuhan di taman sebuah kota
terkenang melihat seseorang yang telah tiada
tapi, malam ini aku mengenangkanmu.

Canberra
10 Jun 2011
*Novelis Achdiat K Mihardja Meninggal 99 Tahun

Thursday 9 June 2011

Salam Terakhir (Boat People)

Di pinggir kota, siang ini, sejarah berbisik, bertenda di langit biru
pada selokan, di pinggir tebing, laut keruh, kapal tua ini akan teruji
satu berganda dua berganda empat berganda lapan mengulang ganda
senja sirkah, sosok tubuh berhimpit, diam, sesekali terdengar bisik ibu.

Bunyi enjin kapal tua berhanyut jauh ke dalam gelombang laut
malam berlenggang, beburung mimpi pun terbang menjauh
taman waktu terapong dipukul angin lalu tenggelam timbul
air mulai memasuki dek, seekor burung laut hinggap.

Di antara gelombang laut, kapal tua sarat, degup jantung
suara-suara itu berbaur, dalam riuh angin, debur laut
tenggelam dalam patah-patah sayap doa, hening.

'Peduli apa, rasakan, mampus kamu.' katanya sambil membaca .
Ketika laut teduh, langit tenang, di sebuah pesisir pantai
pendatang tanpa wajah menunggu, sambil mata melihat tanah seberang.

Canberra
9 Jun 2011

Wednesday 8 June 2011

Selamat Jalan (Boat people)

Selamat jalan, mau ke mana kalian pergi dalam kelam malam
langkahmu sangat hati-hati, suaramu berbisik lemah
jiran masih lelap dan berdekur, nafasnya masih lena
tiada salam dan pesan, hanya seekor kucing putih mengelus kaki.

Jalan di depan tak semestinya rata tenang, laut bermusim
pemergian ini tanpa catatan, lebih diam dan menatap
tanah seberang harapan gemilang bulan purnama
kita tak pernah kenal apa lagi bersaudara, nafas mulutmu sama.

Penyelesaian kalian tak akan menghadang impian langit biru
kau genggam tanah di bawah telapak kaki dan mencium puas
di sini dan tanah seberang, kilau laut berkaca pemisah
sehelai sepinggan dan bagasi lusuh, bingung mencari arah.

Cerita kami, penumpang malam, melihat alam dari lubang tertebuk
kami kalkatu selepas hujan menyisip dari pintu dan jendela
dengarkan kami walau sekali setelah itu kami tak peduli
kalau engkau lalu tanpa menyapa dan mengucap salam.

Canberra
9 Jun 2011

Tuesday 7 June 2011

Lambaian (Ketuhanan)(Suasana)*

Aku mendatangimu kerana Allah membenarkan pintu itu terbuka
dalam nafasku doa itu terpaut dalam gelombang udara.

Kau pun menabur rangkaian doa terusik dari genta rasa
dari kental madu yang menitis di hujung lidah, manisnya zikirullah.

Oh, malam bintang kejora, aku terpanggil
dalam mimpi yang lunak, kudakap-Mu dalam tahajjud.

Canberra
8 Jun 2011

Bual Kosong (Malaysia)

jeng, jeng, kami bertiga berbual di dalam restoran.
kudengar lari cerita, teman mahasiswa, pemikir zamannya
menilik menu dan memesan, kami berserakah.

jeng, jeng, sambil makan berbual. tambah lagi, pelawanya
musim hujan. selera intelek. senyum tawar dan tatap matanya kosong.
tak sabar punya gaji dan berkereta sendiri, kata teman intelek.

jeng, jeng, rupanya kami bertiga berbual kosong
kutanya, memancing teman intelek
'Maaf, kami telah berhenti membaca jadi tak ada isu,' jawabnya.

Kota Kinabalu
2010

Melihatnya (Ketuhanan)

Kau ingin mencari jannat?
sebenarnya, memang ada
di dalam rumahmu. Di situ
pun, puas meraihnya seperti
mata air tak akan pernah
berhenti. Ketika hujan turun,
air naik, cahaya rembulan
penuh. Para malaikat senyum
memberi salam. Sapa manis
dan kasihmu, baja pada doa
yang mengalir.

Sekarang kamar ini kosong,
cahaya itu pun ikut menjauh
di lantai ini, ia pernah bersujud
lama menyentuh langit samawi
rongga nafas melafazkan doa.

Dinding-dinding ini jadi saksi
pada kata kalimat bagai taman
bunga mawar mewangi. Hanya
melihatnya di situ, satu kepuasan
pada sebuah hari.

Aduhai, setiap malam tidurmu
sudah tak lelap, kau pun kehilangan,
kerinduan itu telah membuka pintu
perih. Kunci telah ia pulangkan,
perjalanan telah pun mula tak
mungkin dikendurkan, apa lagi
berpatah balik dan menukar haluan.

Ya Rabbi, mereka terasa tak
ada damai, rembulan pun tau
kelangsungan kata itu telah
membuka mata yang menunduk.

Canberra
7 Jun 2011

Sunday 5 June 2011

Nyanyi Nenek (Mama)

Nenek berpesan,
'Tak apalah,
dari dulu nenek sendiri.
Dodoi anak, tidurlah,
malam telah jauh.
Hujan telah berhenti.'

Balas anak,
'Mak, lihat kami sekarang,
bergelang emas dan bertanah.
Anak-anak dah besar ke universiti.
Aduh, Mak, kenapa berbaju lusuh
di majlis perkahwinan.'

Cucu-cucu bernyanyi korus,
'Untuk mama dan ayah,
kami lengkapkan,
dijauhkan kemiskinan
dipohon derajat dan mewah.
Buat nenek, bukan kami.'

Maaf nak, cu, nenek makan bersepah,
berbaju lusuh, jarang mandi,
berselipar getah.
Untunglah kamu.

'Tak apalah,
dari dulu nenek sendiri.
Dodoi anak, tidurlah,
malam telah jauh.
Hujan telah berhenti.'

Canberra
5 Jun 2011
*Dikirimkan kepada Badan Bahasa Sabah Cawangan Sandakan untuk penerbitan antologi puisi pada 6 Februari 2013

Saturday 4 June 2011

Ragam* (Cinta)(Suasana)*

Aku bertamu ketika pacar inai luntur kelabu
ketika pelayaran sampai di pelabuhan jangkar dilabuh
salam diucap, kita pun berbual sambil makan
pertanyaan melantun seperti suara echo, asyik
rindu diperah, seronok, rupanya melihat sebuah pulau
membidik harapan ketika di lautan luas.

Malam pun berhanyut pecah ombak di pinggiran
tidur tersentak melarikan mimpi di hujung malam
nilai malam bukan pada kelam dan hentakkan kaki
tapi pada keramahan rembulan dan gemerlapan bintang.

Salam saudaraku, maaf aku terlupa  membuang
tanah kering dari sepatuku ketika kutinggalkan rumahmu.

Canberra
5 Jun 2011

Bualan Pagi Minggu (Ketuhanan)

Kita bersaudara, kebaikan langit juga kesuburan bumi
rosak akar pepohonan, kesakitan dan maut
kerana kasih selalu kuingatkan datangnya musim semi
bukan apa-apa, sekedar menyingkap tabir, membuka jendela
merelakan cahaya bersimbah masuk ke dalam rumah.

Mengapa merasa bersalah dan memohon maaf
kalau itu hanya sepak-sepak batu di jalanan
ketika duduk berbual kata tak berdinding
sambil melihat diri di depan cermin memenyek hidung.

Canberra
5 Jun 2011

Friday 3 June 2011

Tiru (Ketuhanan) (Suasana)*

Pernah aku mendengarkan perbualan anak
memang senang meniru gerak-gerak liuk angin dan ngeow kucing
apa lagi si burung nuri, ia pun meniru sapa orang melintas.
Di serambi rumah mereka ketawa terbahak-bahak
melihat anak pintar peka lidahnya meniru bual
orang pulang menyanyi keras di jembatan memaki kelam.

Canberra
4 Jun 2011

Hari* (Cinta)(Suasana)

Mengapa berhujan sambil
bergerutu sendiri di tengah jalan
kata-kata seperti liar angin
di suatu siang tersadai di hutan jati
sedangkan laut terus bergelora
gunung tetap bersikeras hati
ribuan malam telah berlalu
dan mimpi telah pudar 
kau seperti menatang minyak di kuali
Sesekali terpercik walau
pedihnya tak seberapa.

Canberra
4 Jun 2011

Thursday 2 June 2011

Gundah Air (Suasana)*

Gundah air, berlenggang ke muara
hujan pedalaman mengalir antara celah keratan batu
salam langit pada gunung merelakan satu perjalanan
sentuhanmu suatu kehidupan hijau masih berdegup.

Serumu memang tak ada di pusar air
apa lagi pada mata angin, yang ada genta rasa
getarannya melonjak jauh ke serambi langit
mengapa kita mau lain selain purnama.

Lautan tenang, megah gunung, gerimis langit
ada selalu gerak memberi ingat
kekadang kita pula terlupa.

Canberra
2 Jun 2011

Rela* (Cinta)(Suasana)*

Mengapa kau tak katakan masih belum terlambat
bisikan pada bintang supaya ia mengirip kerdip
pada hujan mencurah dari bukit meluncur terus ke halaman.

Dalam timbunan foto hitam putih mengendap serpihan memori
genta malam di hujung senja sesekali beriak memanggilmu
terasa kerinduan itu lapisan kabus yang akan terangkat
mentariku, engkau tetap tak berubah kasih berkurun.

Manisku, kilau zamrudmu di bintang samawi
telah lama bermukim di situ, aku merelakan.

Canberra
2 Jun 2011

Wednesday 1 June 2011

Bercanda* (Puisi)(Metamorposis)

Suatu malam penyair bercanda tentang
perkasanya alam raya dan orbit yang jauh
titian huruf-hurufnya bintang bertaburan
kerana ia ingat debu kakinya masih hinggap sampai ke lemak betis.

Dengarlah dingin air terjun, itu suara hatinya, mengalir
siapakah di kolam itu bermain air dan riang suka
sesekali air terpercik mata, pedih seronok
aduhai maksyuk, pesanmu kudengar si rimba jati
mengapa harus berlaku kejam pada burung si rajawali
apa lagi pada tegar gunung langit jelapang biru.

Maafkan sepasang mata, kau terpaksa melihat belerang perang
di meja perundingan, telah lama kedamaian itu menjauh ke bintang pleiades
ke mana kita setelah ini, siapa pun tak ingin mengambil tau
tiap objek pada tempatnya, penyair masih berdiri di paksi ini
kata-kata kehilangan makna, tapi mereka masih membodohi massa.

Berikan penyair sesaat tak akan  ia lepaskan pergi
tanpa berkata memang aku cinta padamu, oh hidup
sekurangnya penyair puas, ya Rabbi!

Canberra
2 Jun 2011

Atok (Anak)(Mama)

Atok, tubuhmu seperti akar tunjang
menjunam ke dalam sukmaku.
Kau adalah pepohonan rendang
yang tumbuh seribu tahun dalam ingatan
daunmu lebar jadi tempatku berteduh
ketika loceng rehat berbunyi,
kau menungguku datang.
Ketika aku rindu
melihat langit malam
senyummu terpahat pada 
bintang-bintang gemerlapan
Atok, kau datang dalam mimpi
bulan kunyit cempaka.

Canberra
30 Mei 2011

Sebentar, Sedang Berfikir (Suasana)*

Di pinggir sebuah kota ada banyak lorong dan jalan memintas
tiap hari ada saja berjalan santai, cepat dan berlari
mereka mengahwini siang dengan hatinya masing-masing
mentari pun tak pernah mengomel, jelas selamat pagi terucap
kita pun tak pernah bertanya apa lagi curiga, pada sebuah salam
Siapa mereka yang berkeliaran pada siang yang mewah?

Di desa pun kita mengenal tiap permatang dan jalan sekerat
desaku sekalipun terpencil, udaranya nyaman dan hujannya banyak
jembatan gantung sungai berbatu, nenek tua makan sireh di serambi
kucing beranak di bawah ranjang tidur, kita tak kisah, nyenyak diulit mimpi
pohon jambu di halaman, saksi sampai ke hari tua, waris turunan
Ada bertanya siapa yang tinggal di hujung desa, tok miskin tanpa saudara!

Kita  diam-diam di dalam kelam berbual sampai dekur malam
di opis, di taman, bilik air, malam pengantin, mesyuarat atau sedang kuliah
kalau mulut diam tapi jari-jemari asyik mengetik sms
mengapa berkeluh-kisah, tiada lagi pendengar yang akur
tapi di sini sudah lama kejujuran sirna dan saling membantai
aduh, mereka menyukai dusta, seluruh urat nadinya protes
dan dukanya sepanjang malam. Tapi kini jadi lumrah,
di wajah dan gerak tiada yang ganjil telah sebati.

tolong jangan berdusta nanti ketagih, kelakar seorang professor
menyerahkan tugasan kepada sekelompok mahasiswa
-memang sudah begitu,  bagaimana mau diubah!

Canberra
2 Mei 2011

Mawas Diri (Suasana)*

Bagai rumpair
dibawa arus ke laut lepas
lebih baik diam, murka guntur
akan meredah
ketika dirimu terdesak
awasi permainan liciknya
tak ada rasa saudara
kalau mereka mendua bumi.

Ketika amarah meletus
baik mengungsi diri
walau ia telah bermanis muka
tak akan mengendur
dendam mereka
senjata mereka dusta
kebenaran itu tak akan
dapat diputar belitkan

Sekarang
bicara mereka seperti berkhutba
sekalipun di dalam hati
masih pada keramaian.

Canberra
2 Jun 2011