Tuesday 15 March 2011

Maori*(Antologi Kuntum Kasih diselenggarakan oleh Kathirina Susanna Tati, Metro Media Publications & Services, 2013)






Di sini ia meremas tanah segenggam
memperingati Perjanjian Watangi
Matanya sabar sebagai saksi bukan pula
mencari lawan. Suaranya bagai guntur,
menghentak kaki, tari tangan Ka Mate Haka.
Dirasakan tebuk tatoo, darah melacit pada wajah
kulit wira.Mata melotot, lidah terjulur, siap
bagai mematah ranting hati musuh-musuh
durjana. Bagai kolam mendidih, bau asap
belerangmu mengungkit kejahatan silam.
Wabak maut menular di pedalaman, kosong.
perang Musket awan curiga. Penghulu akur,
mata berkilat, berunding. Janji pendatang.
Lembah lembab menjadi perladangan hijau
gelora dagang kapal-kapal Pakeha
berlabuh, bedilnya siap-siap mengempur
mimpi-mimpi tangata whenua. Terciptalah
bebayang gerun, terseret, luka-luka pedih.
Kini layar hidup dicabar, semangat jati
diuji lagi, hanyut pada gejolak kota raya
Budaya tradisi terhempas, meniti titian
arus zaman, tangata whenua resah gelisah.
Malam pahit getir, kebimbangan pada esok,
suram kotamu, tersingkir ke dalam guamu.
Dari sarang Tamariki, Mengingati lagu
waiata, haka, airmu manis, sumur panas
embuk tanahmu, bahasamu indah, puitis
dapat mencipta halilintar membelah langit.
Pada malam pesta kembang bunga api
Pakeha Moari nekad sejarah silam itu,
peringatan seram usah datang kembali.



Auckland
22 April 2010



*telah diterbitkan dalam antologi Kuntum Kasih diselenggarakan oleh Kathirina Susanna Tati, Metro Media Publications & Services, 2013

No comments:

Post a Comment