Monday 1 October 2012

Paduka Mat Salleh Dan Lima Puluh Tahun, Merdeka!*(UB)(ASP) (Merdeka)*


Aku melihatmu, duduk merenung jauh
Paduka Mat Salleh tenang, sekalipun
dalam dirinya, gelisah menunggu esok.
Kerana esok membawa berita masa akan
datang. Di sini, pembelaan terhadap
bangsa telah mula. Tiap gerak langkah
kakinya, adalah hari-hari penentuan dan
sejarah bangsa pribumi. Di telapak kakimu,
kau dirikan kubu, kukuh dan hebat.
Wira-wiramu telah siap-siaga dijadikan
korban demi esok, dijanjikan. Umumkan.
Datanglah perintah. Kerana aku mengenangmu,
Paduka Mat Salleh. Keputusanmu berperang
adalah wajar. Kubaca, tipu muslihat musuh.
Pembelasahan massa, bangsa Moro di
tangan Leonard Wood. Aku mengingati
mereka. Kekejaman dan kekerasan tetap
kekejaman dan kekerasan tak akan bisa
dihilangkan dari sejarah. Aku melihatmu,
bagaimana kau beraksi di Lautan Pasifik,
Atlantis, Lautan Hindi dan Laut China Selatan.
Bagaimana kapal-kapalmu mundar-mandir
mencipta malam panjang di daerah-daerah
pribumi, mencolek mereka di siang benderang!
Di tanah asing burung-burung hitam merindukan
tanah leluhur sampai nafas penghabisan. Dan
martabat dirimu direndahkan. Hilang tradisi dan
hilang adat di tanah asing, mengakhiri hidupmu
di banjaran pergunungan salji, jauh dari kampung
halaman, tiada jalan pulang. Terperangkap. Mereka
dikerah menjadi budak dan buruh paksa di ladang-
ladang tebu, di Queensland. Paduka Mat Salleh, malam
ini, aku mengenangkanmu dan mengenangkan
kemerdekaan bangsa dan lahirnya sebuah negara.
Bangsa pribumi, bangsa Melayu dan negara Malaysia
lima puluh tahun, merdeka. Atas kesedaran bangsa,
namamu dikenangkan. Dari timur ke barat halaman
sejarah telah tercatat, kemampuan dan kedaulatanmu
sebagai bangsa merdeka, bangsa pribumi, bangsa
Melayu. Kita tak pernah dikalahkan menghadapi
penjajah bangsa. Tiap generasi jatuh bangunnya
di atas pundak sejarah lalu. Sejarah telah
mendewasakan bangsa dan sejarah mendewasakan  
negara Malaysia. Aku mengenangkanmu
Paduka Mat Salleh, kau mengenal permainan
penjajah. Mereka pandai menyedapkan rasa
dan melunturkan semangat perjuangmu.
Perjanjian dibuat untuk mengabui matamu
dan menderamu. Akhirnya kau ditumpaskan.
Paduka Mat Sallleh, ketika martabat bangsa
jatuh ditendang ke dalam longkang dan
membunuh semangat perjuanganmu,
di situ, kau, hadir dan membalas balik
gertak dan tipu muslihat penjajah bangsa.
Kebangkitanmu, Paduka Mat Salleh telah
mengangkat martabat bangsa pribumi ini,
bangkit melawan ketidak-adilan, kemalaratan
pemerasan, menjatuhkan martabat, adat
dan tradisi bangsa pribumi di depan mata.
Memang celaka, kalau satu bangsa membiarkan
martabat dirinya terinjak, memusnahkan
masa depan sebuah bangsa bermaruah dan
berakal budi, penuh dengan adat-adat sopan
santun. Di malam terakhir itu, aku dapat
merasakan diammu. Malam penuh doa-doa
darimu dan panglimamu, Paduka Mat Salleh.
Sampai akhir, jiwamu tak pernah dikalahkan,
dan kau tak berganjak atau mundur ke belakang.
Tiap langkah kau perhitungkan. Sekiranya
nanti kemenangan di pihakmu, itu adalah hadiah
dari langit. Tetapi sekiranya kau tumpas, perjuangan
tak akan berhenti di sini. Perjuangan bangsa akan
terus sehingga negara berdaulat ini merdeka
dan bebas dari penjajah bangsa. Oleh itu langkahmu
telah kau perhitungkan. Tiada bangsa yang menyerah
tanpa perlawanan sampai ke akhirnya. Aku mengenangmu
dalam doa pada Tuhan Rabiul Alamen. Malam terakhir,
langit diam sampai ke fajar. Sejarah akan tercipta
pada esok. Pertempuran bangsa pribumi melawan
penjajah bangsa. Aku melihatmu, Paduka Mat Salleh,
bagaimana, suasana di kubumu. Bagaimana kalian
menjalani malam-malam terakhir kalian di kubumu.
Doa yang dipanjatkan pada kali terakhir. Lalu siang
pun tiba, sunyi dan senyap di kubumu. Lalu suaramu,
Paduka bagai halilintar membelah langit, kau berseru
"Hidup, hidup, hidup Wahai bangsa berdaulat. Bangsa
Pribumi dan bangsa Melayu." Aku melihat pada langit
biru terhimpunnya huruf-huruf menjadi kalimat, tajam
seperti tombak, turun dalam ribuan panah api, ke arah
penjajah bangsa. Pertempuran pun berlaku. Para panglima
menerpa ke depan tanpa takut, melumpuhkan kemaraan
musuh, dan merabunkan mata mereka. Satu demi satu
mereka gugur. Aku merasa Paduka, kocak darahmu
mengalir dalam tubuh ini. Aku mengenangmu,
pertempuran siang terakhir. Hari ini 50 tahun, negeriku,
Sabah dalam Malaysia, rahmat dan kurnia Allah.
Hidup bangsaku yang berdaulat. Bernyanyilah puisiku
dari sukma yang mengalir dari kalimat tulus dan
kata-katanya terungkap dari kejujuran mimpi
anak bangsa dalam mengenangmu, Paduka Mat Salleh.
Dari masa silam penjajah selalu menjadi kita umpan
dalam dasar "pecah dan pimpin." Ketika bangsa
pribumi didiamkan, kau berdiri. Ketika kau telah
dicurigai, mereka memanggilmu berunding dan
berjanji manis. Ketika kau berhenti berunding
mereka memanggilmu, pemberontak harus dihapuskan.
Malam, 50 tahun, kami telah menjadi bangsa,
negara berdaulat, kami kenangkanmu sebagai anak
bangsa yang pernah bangkit dan menentang
ketidak-adilan, pemerasan, kemiskinan dan
kemalaratan anak bangsa pribumi di tanah airmu.
Malam ini, Aku melihat kebenaran dan kenyataan
sejarah. Sejarah tercipta, dalam semangat bangsa,
ke arah kesatuan yang satu, persaudaraan dari
pengorbanan anak bangsa sebelum hingga hari ini.
Aku mengenangkanmu, pengorbananmu,
Paduka Mat Salleh, pengorbanan yang tak akan
dilupakan. Pengorbanan anak watan, anak pribumi
menentang penjajah bangsa. Malam ini,
Kami mengenangkanmu, Paduka Mat Salleh,
dan para panglimamu. Namamu hadir dalam
impian dan mimpi, mimpi anak bangsa
pribumi bukan hanya di malam 50 tahun ini,
malam ini tapi, dalam ribuan tahun mendatang.

Honiara
2 September 2012
*disiarkan oleh Utusan Borneo, hari minggu, 21 Oktober 2012
*Puisi ini dalam antologi bersama, Sabahuddin Senin dan Awang Karim Kadir, dalam antologi "Suara Penyair", terbitan Pro Saba-F, 2012
*Antologi Kemerdekaan

No comments:

Post a Comment