Tuesday 31 May 2011

Taksir Angin, Dedaunan Kering* (Cinta)(Suasana)

Musim dingin. Aku menaksir larian angin
dedaunan kering bagai bala tentera siap dikerah.
Dari jendela aku menonton persiapan hinggar-bugar ini
trompet telah ditiup di lapangan sepi, mendung langit.
derap kaki bala tentera bergerak dalam satu semboyan
pada bumi berdentum memeka gegendang telinga
dentam langit gemuruh sebentar nanti perang akan mulai.

Tiada cinta di mata, kasih-sayang pada hanya di garis belakang.
Suara protes tak akan sampai sekalipun ia terbujuk rasa kasihan.

Kutarik nafas, menilik keindahan dari himpunan daunan kering
ke sana ke mari dan berhenti, menunggu arahan siap menyerbu
pepohonan seperti diam dan sepi. Kelmarin dedaunan kering itu
masih bergayutan pada ranting seperti arca musim dingin.

Hari ini tiada belas kasihan, namanya juga sebuah peperangan
raksasa, halilintar dan alam insani. Kata mereka peperangan ini
merelakan tipu muslihat, kemenangan, berkibarnya bendera.
Angin mati. Gerak di lapangan berhenti. Hanya degup jantung.
Gemuruh, debarnya semakin keras seperti dermaga akan pecah.
perintahkan, biar pergolakan maut bermula di titian zaman.

Di lapangan sepi dan lembab. Ia berkeluh kisah.
Bumi, kau temanku, terlalu romantis saat begini.
Segenggam bumi, pengorbanan tanah liat kering.
pengorbananmu dari permainan licik yang kotor.
Kupejam mata, terompah waktu bergerak selangkah. 
air di pergunungan masih murni menuruni lembah.
Satu kata tak cukup menyatakan syukur.

Canberra
1 Jun 2011

No comments:

Post a Comment